Oleh : Rivaldi Dochmie
Abstrak
Sosialisme menjadi salah satu ideologi besar
yang bersama dengan ideologi-ideologi lainnya, dijadikan sebagai dasar
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sutan Sjahrir menjadi salah satu tokoh utama,
dari ideologi ini. Uniknya Sjahrir memiliki khasnya sendiri dalam pemahaman
sosialismenya, untuk itu sangatlah tidak berlebihan untuk menyebutnya dengan
Sosialisme Sjahrir. Kontribusi Sjahrir dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,
tentunya menjadi sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi. Dia berjuang mulai
dari pendudukan imperialis belanda, sampai pada pendudukan fasis Jepang. Sjahrir
bersama dengan Soekarno dan Mohammad Hatta, dikenal sebagai "Tiga
Serangkai", yang menjadi ujung tombak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun,
agaknya dibandingkan dengan dua kawannya, Sjahrir menjadi yang paling tidak
populer, dan bahkan banyak tidak diketahui oleh masyarakat umum. Hal ini juga
menjadi alasan kuat, mengapa kajian-kajian mengenai pemikiran Sjahrir, menjadi
hal yang langkah untuk ditemukan saat ini. Oleh karena itu, tulisan ini akan
berusaha untuk membedah secara komperensif pemikiran-pemikiran bung Sjahrir,
yang tentunya sangat banyak dipengaruhi oleh ideologi Sosialisme. Dalam tulisan
ini, penulis akan membagi pembahasan menjadi 3 pokok bahasan, yang mencakup
Sosialisme Sjahrir, pemikiran Politik, dan pemikiran Ekonomi, bung Sjahrir.
Keywords : Sutan Sjahrir, Sosialisme, Sosialisme Sjahrir,
Pemikiran, Politik, Ekonomi, Sosial.
Pendahuluan
Indonesia, selama masa pergerakan perjuangan kemerdekaannya,
telah banyak memunculkan sosok tokoh bangsa. Soekarno, Hatta, dan Sjahrir,
adalah beberapa di antaranya. Tiga orang ini dikenal sebagai tiga serangkai
pendiri bangsa. Mereka berjuang, dengan jalan yang tak selalu sama.
Pemikirannya pun, cukup banyak yang berbeda. Mereka disatukan oleh satu tujuan,
yakni kemerdekaan Indonesia.
Tidak seperti, dua kawanya. Sjahrir lebih kurang populer
di tengah masyarakat, utamanya pelajar dan pemuda. Melambung tingginya nama
Soekarno-Hatta, seakan menutupi keterlibatan dirinya, dalam pergerakan
nasional. Namun, ini bukan berarti pengaruhnya kecil bagi bangsa ini. Kurikulum
pembelajaran kita saja, yang kurang memperkenalkannya pada masyarakat. Bung
Sjahrir, merupakan pribadi yang jujur dan bersahaja. Dia seorang humanis yang
kritis, juga seorang sosialis yang demokratis bahkan ada yang bilang dia juga
punya sisi liberalis. Dia memiliki pemikiran yang unik dan menyeluruh, serta
cukup kontroversial pada masanya. Banyak yang mengatakan, pemikirannya
melampaui masanya. Oleh karena itu, kajian mengenai diri dan pemikirannya,
tentu penting untuk dilakukan. Dengan tujuan, agar kita dapat lebih memahami
dan mengambil pelajaran dari dirinya, serta melanjutkan cita-citanya.
Mengenal Lebih Dekat Bung Sjahrir
Sumatera dikenal sebagai salah satu daerah,
yang banyak melahirkan para tokoh pahlawan nasional. Salah satunya yaitu Bung
Sjahrir, seorang berperawakan kecil, yang lahir di tengah-tengah masyarakat
Padang Panjang, Sumatera Barat. Tepatnya tanggal 05 Maret 1909, Sjahrir membuka
mata untuk pertama kalinya di dunia. Hal itu, tentu menjadi kebahagian besar
bagi ayah dan ibunya. Pada masa sekarang ini , hal itu sepatutnya juga menjadi
kebahagiaan besar bagi bangsa, karena atas jasa dan kontribusinyalah, merdeka saat
ini bukan hanya sekedar menjadi mimpi belaka.
Ayahnya Mohammad Rasad gelar Maharadja Soetan,
asal Kota Gadang. Bekerja sebagai Jaksa Kepala Landraad, Pengadilan
Negeri. Ibunya, seorang putri dari keluarga raja-raja lokal swapraja, bernama
Poetri Siti Rabiah, yang berasal dari Natal. Dengan kedua orang tuanya
tersebut, dapat diketahuilah bahwa Sjahrir hidup dalam keluarga yang cukup terpelajar.
Apalagi saat itu orang-orang kota gadang, memang menjadi angkatan pertama yang
memperoleh kesempatan untuk memasuki sekolah-sekolah belanda.[1]
Sjahrir di masa mudanya selalu tampil elegan
dengan tatapan dan senyum ramahnya. Pendidikan awalnya ditempuh di ELS (Europeesche
Lagere School), sekolah dasar berbahasa Belanda. Setelah itu dia melanjutkan pendidikannya ke MULO
(Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, Sekolah Menengah Pertama berbahasa
Belanda. Sjahrir diantara teman-temannya tergolong murid yang pintar. Dia gemar
membaca buku dan juga suka bermain biola. Pada Tahun 1926, Sjahrir mulai
belajar di Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung. Pada masa
sekolahnya itu, Sjahrir aktif dalam pergerakan organisasi Pemuda Indonesia.
Dibandingkan dengan politik, Sjahrir di masa
mudanya jauh lebih tertatik pada kegiatan sosial. Ini terbukti dengan didirikan
olehnya, Tjahja Volksuniversiteit, sebuah perguruan nasional, yang
memberikan pembinaan buta huruf secara gratis, kepada anak-anak pribumi.[2]
Terlihat dengan jelas, bahwa jiwa pendidik telah ada dalam dirinya sejak muda.
Setelah lulus dari AMS Bandung, Sjahrir
melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda. Awalnya ia belajar di Fakultas
Hukum, Gemeente Universiteit Van Amsterdam, dan kemudian dia mendaftar
di Universiteit Leiden. Di bagian hidupnya inilah, dia mulai masuk ke dalam dunia politik. Walau belum sepenuhnya.
Dia lebih memilih untuk menapaki minatnya
belajar Sosialisme, ketimbang masuk ke dalam kelas perkuliahan. Agaknya,
dorongan keinginan untuk melepaskan bangsanya dari cengkeraman imperialis,
telah menghantarkan Sjahrir pada paham Marxisme. Dia bukan seorang Marxis, dia
hanya sekedar ingin mempelajarinya. Bahkan kelak, dia mengajukan berbagai
kritik terhadap ajaran ini. Terlepas dari itu semua, yang paling menarik ialah
pertemuannya dengan Mohammad Hatta. Hatta saat itu juga tengah menempuh kuliah
di Belanda, sekaligus memimpin organisasi PI (Perhimpoenan Indonesia) di
Belanda. Sebagai sesama perantau, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk merasa
cocok satu sama lain. Sjahrir bergabung dengan Perhimpoenan Indonesia, dan
menjadi Sekertaris pada februari 1930. Hubungan persahabatannya dengan Hatta
terus berlanjut. Hubungan inilah yang kelak ikut menghantarkan Indonesia pada
Kemerdekaannya.
Tak berselang lama, berita buruk dari
Indonesia terdengar sampai ke Belanda. PNI (Partai Nasional Indonesia)
dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda, dan pimpinannya Soekarno, ditangkap
dan dipenjarakan. Mendengar hal itu, Hatta dan Sjahrir, langsung mengambil
tindakan responsif. Mereka memutuskan untuk membantu wadah baru yang didirikan
oleh para penentang pembubaran PNI, yakni Pendidikan Nasional Indonesia, atau
disingkat PNI-Baru. Untuk mewujudkan itu, Sjahrir memutuskan untuk kembali ke
Indonesia. Pada Kongres pertama PNI-Baru, Sjahrir terpilih menjadi ketua umum
partai. Sebuah partai kader, dengan ciri pendidikan yang kental, sebagaimana
yang diinginkan Sjahrir.
Berselang beberapa waktu, Hatta kembali ke
Indonesia. PNI-Baru berganti tampuk
kepemimpinan. Sjahrir mempersiapkan diri untuk kembali melanjutkan
pendidikannya ke Belanda. Namun, sayangnya keinginannya itu tak pernah
tercapai. Tahun 1934, beberapa aktivis
PNI-Baru, termasuk Hatta dan Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan. Tak berhenti
disitu, Hatta dan Sjahrir setelah itu dibuang ke Boven Digul, sebelum kemudian
dipindahkan ke Banda Neira. Kurang lebih, 7 tahun mendekam di pembuangan, tak
pernah menghentikan langkah pergerakan mereka.
Pada saat peralihan kekuasaan dari Belanda ke
Jepang, tepatnya tahun 1942, Hatta dan Sjahrir dibebaskan dari pembuangan.
Pergerakan perjuangan mereka berlanjut untuk melawan Fasis Jepang. Dalam
pergerakan kali ini, agaknya Sjahrir mengambil jalan yang berbeda dari Soekarno
dan Hatta, dia tidak mau untuk ikut bekerjasama dengan Jepang, dan memilih
untuk bergerak dari bawah tanah.
Jepang kalah dari Amerika Serikat tahun 1945,
Hal ini harusnya menjadi kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk memproklamirkan
kemerdekaannya. Sjahrir menjadi orang yang pertama tahu, perihal kekalahan
Jepang ini. Dia segera memberikan informasi kepada Soekarno dan Hatta. Namun,
Soekarno dan Hat ta kurang yakin,
mengenai hal ini. Sehingga mereka mengambil langkah untuk mengkonfirmasi hal
itu pada pihak Jepang. Akhirnya setelah perundingan yang alot dengan pihak
Jepang. Keputusan untuk memproklamirkan kemerdekaan didapatkan, dengan
ketentuan hal itu menjadi internal bangsa Indonesia, dan tidak diketahui oleh
Jepang (Hal ini untuk menghindari keputusan Status Quo dengan Belanda).
Kemerdekaan pun diproklamirkan. Sjahrir tidak
hadir saat pembacaan teks proklamasi, hal ini dilatarbelakangi
ketidakinginannya untuk mendapatkan kemerdekaan serahan Jepang.
Sejarah terus berlanjut. Indonesia masih dalam
tahap awal dengan begitu banyak urusan kenegaraan yang harus dirancang dan
ditetapkan. Pada oktober 1945, seiringan
dengan dikeluarkannya Makloemat X Wakil Presiden, maka dimulai pula awal
pemerintahan parlementer Indonesia. Beberapa bulan kemudian Sutan Sjahrir
sebagai Perdana Menteri dan kabinetnya dilantik oleh Presiden Soekarno. Sjahrir
menjadi Perdana Menteri pertama di Indonesia, juga sekaligus menjadi Perdana
Menteri termuda di Dunia, saat itu umurnya masih 36 tahun. Bung Sjahrir
memimpin kabinet selama 3 periode. Setelah melepas jabatannya sebagai Perdana
Menteri, Sjahrir sempat menjadi Utusan Khusus Republik Indonesia di PBB, Penasihat
Presiden, Duta Besar di beberapa negara, dan pada akhirnya dia hanya menjadi
Warga Negara biasa, yang berusaha untuk mengembangkan partainya, yaitu PSI
(Partai Sosialis Indonesia). Begitu banyak prestasi yang diraihnya. Begitu
banyak pula hambatan dan cemoohan yang
mendatanginya. Sampai akhirnya dia harus, menerima berbagai tuduhan dan
tudingan. Partainya dibubarkan, bernasib sama dengan partai Masyumi. Dia pun
menjadi tahanan politik. Menghabiskan sisa waktunya sebagai tahanan negeri yang
diperjuangkannya sepenuh hati. Dalam posisinya yang sebagai tahanan,
kesehatannya terus memburuk. Sampai akhirnya, harus dirujuk ke Swiss untuk
mendapatkan pengobatan.
Sembilan April 1966, sahabat dekat
mendatanginya. Mengambil salah satu hal yang sangat berarti baginya. Dia pun
memberikannya dengan sukarela. Toh, hanya hidup yang akan diambil. Dia
meninggal dengan penuh suka dan duka. Meninggalkan harapan dan keyakinan, bahwa
pemuda akan melanjutkan perjuangannya. Dengan Keputusan Presiden, Sjahrir
diangkat menjadi Pahlawan Nasional, dan diminta agar dapat dimakamkan dengan
upacara kenegaraan. Keluarganya menyetujui itikad baik negara. Jenazah Sjahrir
dipulangkan dan dimakamkan di TMPU Kalibata. Mungkin sedikit aneh, sehari
sebelumnya tahanan, berubah status menjadi Pahlawan.
Sosialisme Sjahrir
Seperti yang kita semua ketahui, Sjahrir
adalah seorang sosialis. Dia adalah pendiri sekaligus pemimpin di PSI (Partai
Sosialis Indonesia). Perkenalannya dengan Sosialisme dimulai saat dia belajar di negeri Belanda. Tidak lama setelah
perkenalannya, Sjahrir jatuh cinta pada Sosialisme. Karena cintanya ini pun,
dia sering meninggalkan kelas kuliah, hanya demi mendalami minatnya pada Sosialisme.
Pada masanya itu, Sosialisme memang sedang
dalam perkembangan yang pesat. Berkembang bersama dengan saudara dekatnya yang
lebih radikal, yakni Komunisme. Sosialisme dan Komunisme, keduanya dianggap
oleh sebagian orang sebagai jalan terbaik untuk tercapainya suatu
kesejahteraan. Yang akan diwujudkan dengan, menciptakan keseimbangan dan
kesamaan ditengah masyarakat. Keduanya memiliki jalan yang sama, yaitu
Revolusi. Namun, ada beberapa perbedaan mendasar, misalnya dalam cara
mewujudkan Revolusi tersebut. Komunisme, memandang Revolusi, harus dilakukan
dengan keras, dengan perlawanan fisik melawan para borjuis. Sedangkan
Sosialisme, memandang Revolusi sebagai jalan yang lebih damai, tanpa harus ada
kekerasan. Komunisme, percaya bahwa hanya dengan partainyalah kesejahteraan
dapat diwujudkan, atau dengan kata lain, ia percaya dengan sistem satu partai. Ia
ingin mewujudkan yang namanya diktatur proletariat. Sedang Sosialisme, masih percaya
dengan Pemilihan Umum. Masih percaya dengan sistem Multi-Partai. Ia akan memperjuangkan
nilai-nilai dalam ideologinya, melalui institusi pemerintahan.
Sosialisme pada awalnya muncul sebagai reaksi
terhadap pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri.[3] Ia
berusaha untuk mengkritisi sistem produksi kapitalis dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya. Ia memandang praktik-praktik borjuasi yang ada dalam masyarakat
kapitalis, sebagai hal-hal yang tak bermoral. Namun, sayangnya sosialisme tidak
mampu untuk menjelaskan kritiknya tersebut,
sehingga juga tidak dapat memberikan solusi terhadap peristiwa sosial tersebut.
Ia tidak dapat mengungkapkan hukum-hukum perkembangan kapitalisme, serta tidak
dapat menunjukan kekuatan sosial yang bagaimana, yang dapat membentuk
masyarakat yang baru. Oleh karena itu, sosialisme semacam ini disebut sebagai
Sosialisme Utopis.[4]
Di Indonesia, Sosialisme berkembang pesat
seiringan dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dengan cepat, Sosialisme
menjelma menjadi ideologi rakyat. Ajaran-ajarannya sangat diterima, karena
terdengar begitu indah di telinga masyarakat, yang pada saat itu kebanyakan
adalah buruh dan pekerja. Sosialisme kemudian, banyak dikembangkan dan
direlevankan dengan keadaan masyarakat Indonesia. Munculah, istilah-istilah baru
seperti Sosialisme Religius, Sosialisme Rakyat, Marhaenisme, dan lain
sebagainya. Sutan Sjahrir, menjadi salah satu aktor utama, dalam perkembangan
Sosialisme di Indonesia. Bersama dengan Hatta, Bung Sjahrir berusaha
menghidupkan aura Sosialisme yang baru, yang sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan bangsanya.
Sosialisme Sjahrir, sering juga disebut dengan
Sosialisme Kerakyatan. Sosialisme ini, didasarkan pada dorongan rakyat untuk
mendapatkan kesejahteraan, dengan tetap memperhatikan hak-hak individu dalam masyarakat.
Selain itu, dasar fundamental lain yang membangun Sosialisme Sjahrir adalah
Demokrasi. Keunikan Sosialisme Sjahrir, dibandingkan macam Sosialisme lainnya,
ialah ada pada inti pokok rumusannya, yakni Kemanusiaan. Kemanusiaan menjadi,
kata kunci untuk memahami Sosialisme Sjahrir. Bagaimana tidak, Sosialisme
Sjahrir dalam setiap bagian isi rumusannya, selalu menekankan, untuk
memperhatikan aspek kemanusiaan. Bukan aspek kekolektifan, atau pun keindividualan.
Sosialisme Sjahrir menentang segala bentuk otoritarianisme, baik dalam
bentuk fasisme, maupun komunisme (Diktatur Proletariat). Sosialisme Sjahrir
juga tidak berlebihan dalam menolak kapitalisme, bahkan masih memberi
kesempatan pada ekonomi pasar dan usaha-usaha swasta untuk dapat bekerja secara
bebas dengan tetap memperhatikan aspek-aspek sosial.[5]
Ini menunjukan, bahwa Sosialisme yang diperkenalkan Sjahrir, bersifat Realistis.
Tidak sekedar Idealis belaka. Dalam rumusan dasar-dasar dan pandangan politik Partai
Sosialis Indonesia, dijelaskan: "Sosialisme semestinya, tidak lain
daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan
serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya".[6]
Dasar-dasar tersebutlah yang membangun Sosialisme Sjahrir.
Sjahrir dan Pemikiran Politiknya
Setelah membahas kehidupan dan isi pandangan Sosialisme Sjahrir. Pada
pembahasan ini, yang akan dibahas yaitu, mengenai pemikiran-pemikiran politik
Sjahrir.
Sebagai seorang politikus, Sjahrir jauh berbeda dengan sesama politikus
lainnya. Dia punya jalannya sendiri dalam memandang dan menjalankan politiknya.
Dia menganggap politik, bukanlah sebagai sesuatu yang diinginkannya, melainkan
sesuatu, yang tak terelakkan baginya. Politik dalam pandangannya, bukan sekedar
merebut kekuasaan, dan memanfaatkannya. Bukan pula, sekedar berarti mempertaruhkan
modal untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Sjahrir memandang politik lebih
sebagai suatu perkara etis, yang dalam menentukan tujuannya haruslah dapat
dibenarkan oleh akal sehat, dan memenuhi syarat-syarat moral. Sjahrir tidak
pernah melihat politik sebagai perkara pragmatis, yang sekedar menuntut
tercapainya sebuah tujuan, tanpa ada pertimbangan nilai-nilai moral.[7]
Dalam salah satu suratnya, terdapat sepenggal sajak yang berbunyi : "Hidup
yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan".[8] Sajak
ini tentu terdengar begitu indah, bagi para penyuka sajak. Maknanya begitu
mendalam, dan cukup sulit untuk digali. Namun, pada dasarnya, sajak ini adalah
prinsip hidup dasar bagi Sjahrir. Semua bagian dalam hidupnya, termasuk
kehidupan politiknya, berpegang pada prinsip ini. Keberanian untuk bertaruh
dalam hidup, menjadikannya bersahaja karena membuatnya mampu berdiri dan
bertahan dalam pendiriannya. Sekalipun begitu, bukan berarti Sjahrir seorang
yang polos dan tidak paham dengan berjalannya politik praktis, serta hanya
mengandalkan keberanian. Dia berani, dengan dukungan rasional dan moral. Bukan
hanya sekedar berani tanpa menggunakan akal. Terbukti dari langkah-langkah
politis yang diambilnya. Semuanya selalu dengan pertimbangan yang ketat dan
tepat. Sebut saja, pemikirannya mengenai revolusi. Dia membagi revolusi menjadi
2 bagian, yang pertama yakni Revolusi Nasional, dan kedua yaitu Revolusi
Kerakyatan.
Revolusi Nasional ialah, laku perubahan yang mengarahkan kita kepada
terbentuknya suatu sistem demokrasi yang tetap. Dasar dari Revolusi Nasional
bukanlah Nasionalisme, melainkan adalah Demokrasi. Nasionalisme yang berlebihan
dalam pandangan Sjahrir, hanya akan menciptakan Fasisime baru. Untuk itu,
Revolusi Nasional yang menghantarkan kepada Demokrasi haruslah didahulukan.[9]
Setelah Revolusi Nasional diharuskan adanya suatu Revolusi Kerakyatan,
yakni upaya perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Dimana rakyat yakni
setiap individu, dapat hidup merdeka, dengan mendapatkan kebebasan berfikir, berbicara,
berserikat, dan hak-hak dasar lainnya. Selain itu, Revolusi Kerakyatan, juga
mengarahkan pola pikir sosial agar lebih mandiri, dan tidak mudah dimobilisasi
oleh siapa pun juga.
Dalam upaya mewujudkan kedua bentuk revolusi tersebut, dibutuhkan yang
namanya Partai Politik. Bung Sjahrir bersama dengan Hatta, berpendapat bahwa
pengelolaan partai politik harus dijalankan dengan sistem multi-partai. Untuk
mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar kepada satu orang
atau satu golongan.[10]
Selain itu, menurut Sjahrir, partai politik lebih baik berbentuk partai kader,
dari pada partai massa. Pendidikan politik akan lebih mudah disampaikan dalam
partai kader, ketimbang partai massa. Dari gagasannya inilah, kemudian partai
yang didirikannya (Partai Sosialis Indonesia), konsisten dengan tetap berbentuk
partai kader, sampai dengan akhir masanya. Ini menjadi salah satu bukti, bahwa
Sjahrir dalam berpolitik tidak bersifat oportunis.
Partai Sosialis Indonesia, dalam perkembangannya, memang banyak mendapatkan
kendala. Kekurangan anggota dan pendukung adalah satu dari beberapa kendala
yang dialaminya. Bentuknya yang berupa partai kader, dan penekanan pada
kegiatan edukasi didalamnya, menjadi salah satu sebab munculnya kendala. Padahal,
PSI menyimpan cita-cita yang begitu mendalam untuk rakyat. Cita-citanya yakni,
untuk mewujudkan kebebasan dan kemandirian manusia pada setiap individu
ditengah masyarakat. Seorang ahli ilmu politik terkemuka, Herbert Feith,
memandang PSI sebagai jelmaan politik sosial-demokrasi di Indonesia. Namun,
baginya PSI lebih cocok untuk disebut sebagai partai liberal-sosialis daripada
sosial-demokratis. Seandainya saja, istilah "liberal" tidak telanjur
diasosiasikan dengan kapitalisme yang tak terkendali dan imperialisme di
Indonesia.[11]
Jika dibandingkan dengan para politikus Indonesia saat ini, tentunya sangat
sulit menemukan sosok yang serupa dengan Sjahrir. Namun, setidaknya kita harus
tetap yakindan percaya, bahwa masih ada pemuda-pemuda yang kelak akan
melanjutkan pergerakan dan pemikirannya.
Sekurang-kurangnya, adalah diri kita sendiri yang masih mau membaca sejarahnya.
Pandangan Ekonomi Sjahrir
Keluar dari masalah politik, kita masuk ke
pembahasan mengenai Ekonomi. Ekonomi tentunya merupakan salah satu hal yang
bersifat krusial, di dalam suatu negara. Apalagi bagi negara yang baru saja
merdeka, dan baru mulai membangun bangsanya. Sjahrir selain sebagai seorang
politikus, juga sekaligus seorang Economical Thinker. Jika mengetahui
bahwa dirinya adalah seorang sosialis, maka mungkin kita akan membangun
persepsi, bahwa dalam ekonomi dia membenarkan sistem ekonomi distribusi khas
sosialis dan komunis. Dimana, setiap kebutuhan rakyat akan dipenuhi oleh negara
melalui pendistribusian, serta melarang adanya perusahaan yang didirikan oleh
pribadi atau swasta. Namun, pada kenyataannya Sjahrir tidak begitu. Sjahrir,
memahami bahwa setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama lain.
Sehingga negara tidak mungkin, unruk memenuhi kebutuhan setiap rakyatnya dengan
prinsip sama rasa.
Untuk memperdalam pemahaman ekonominya, Sjahrir
membaca tulisan John Stuart Mill (1806-1873).[12]
John Stuart Mill, dikenal sebagai seorang pemikir liberal abad ke 19. Dengan
begitu tentunya cukup besar kemungkinan dia
terpengaruh oleh pemikiran Mill dalam hal ekonomi. Ini juga didukung
oleh, tulisannya dalam Perjuangan Kita, yang mengatakan : "Selama dunia
tempat kita hidup masih dikuasai oleh modal, kita harus memastikan bahwa kita
tidak memiliki kebencian yang dalam pada kapitalisme. Ini menyangkut negeri
kita yang dibuka untuk kegiatan ekonomi asing sejauh mungkin-selalu dengan
syarat tidak merusak kesejahteraan rakyat kita."
Pada dasarnya, Sjahrir bersikap realistis
dalam pandangan ekonominya. Dia membuka kesempatan adanya investasi asing, dan
pendirian perusahaan swasta, selama tidak berdampak buruk bagi kesejahteraan
rakyat. Dia terbuka dengan kapitalisme, dengan syarat negara mampu
mengendalikannya. Inilah yang kemudian juga menjadi salah satu dasar, dari
sistem hubungan luar negeri bebas-aktif.
Penutup
Bung Sjahrir, selama hidupnya, telah
memberikan berjuta kontribusi bagi bangsa dan negara. Mulai dari masa
Imperialisme Belanda, Fasisme Jepang, sampai dengan Pasca-Kemerdekaan.
Pergerakannya telah membawa Belanda hengkang dari Indonesia. Jepang pun pulang
kembali ke negeri asalnya. Diplomasinya, membawa angin segar bagi Kemerdekaan
bangsa. Konferensi Meja Bundar, adalah salah satu hasil utamanya.
Pemikiran Sjahrir, kadang memang sulit untuk
dipahami oleh masyarakat. Namun, itu bukan berarti dia hanya seorang elite yang
tak peduli dengan rakyatnya. Pemikirannya memang kompleks dan terstruktur,
namun cintanya pada rakyat tak akan pernah dapat terukur. Pemuda produktif
itulah dia. Pemikirannya melampaui masanya. Dia seorang sosialis yang cinta
kebebasan, serta seorang demokrat yang cinta akan kemanusiaan. Semoga
nilai-nilai, pemikiran-pemikiran, serta kiprah perjuangan Sjahrir dapat menjadi
obor kecil yang menerangi hati nurani bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Silahuddin.
2014. Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali. Islamic Studies
Journal. Vol. 2, No. 1
Anwar,
Rosihan. 2010. Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity.
Jakarta. Kompas.
Sjahrir,
Sutan. Perjuangan Kita. Jakarta. Anjing Galak Penerbitan.
[1] H.
Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta:
Kompas, 2010), 34.
[2] H.
Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta:
Kompas, 2010), 35.
[3]
Bernard Crick, Sosialisme, (Pustaka Promethean, 2001), 50
[4]
Eko Supriyadi, Sosialisme Islam (Jogja: Rausyan Fikr Institute, 2012), 56
[5] H.
Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta:
Kompas, 2010), 113.
[6] H.
Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta:
Kompas, 2010), 115
[7] H.
Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta:
Kompas, 2010), 8.
[8]
Sjahrazad, Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, diterjemahkan oleh H.B.
Jassin (Jakarta: 1990), 44 dan 85
[9]
Sutan Sjahrir, Perjuangan Kita, (Jakarta: Anjing Galak Penerbitan), 19.
[10]
H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta:
Kompas, 2010), 11.
[11]
H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta:
Kompas, 2010), 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar