Minggu, 09 Juli 2017

Sosialisme Sjahrir dan Dinamika Pemikirannya

                                                              
Oleh : Rivaldi Dochmie

Abstrak
Sosialisme menjadi salah satu ideologi besar yang bersama dengan ideologi-ideologi lainnya, dijadikan sebagai dasar perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sutan Sjahrir menjadi salah satu tokoh utama, dari ideologi ini. Uniknya Sjahrir memiliki khasnya sendiri dalam pemahaman sosialismenya, untuk itu sangatlah tidak berlebihan untuk menyebutnya dengan Sosialisme Sjahrir. Kontribusi Sjahrir dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tentunya menjadi sesuatu yang tidak perlu diragukan lagi. Dia berjuang mulai dari pendudukan imperialis belanda, sampai pada pendudukan fasis Jepang. Sjahrir bersama dengan Soekarno dan Mohammad Hatta, dikenal sebagai "Tiga Serangkai", yang menjadi ujung tombak perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, agaknya dibandingkan dengan dua kawannya, Sjahrir menjadi yang paling tidak populer, dan bahkan banyak tidak diketahui oleh masyarakat umum. Hal ini juga menjadi alasan kuat, mengapa kajian-kajian mengenai pemikiran Sjahrir, menjadi hal yang langkah untuk ditemukan saat ini. Oleh karena itu, tulisan ini akan berusaha untuk membedah secara komperensif pemikiran-pemikiran bung Sjahrir, yang tentunya sangat banyak dipengaruhi oleh ideologi Sosialisme. Dalam tulisan ini, penulis akan membagi pembahasan menjadi 3 pokok bahasan, yang mencakup Sosialisme Sjahrir, pemikiran Politik, dan pemikiran Ekonomi, bung Sjahrir.
Keywords : Sutan Sjahrir, Sosialisme, Sosialisme Sjahrir, Pemikiran, Politik, Ekonomi, Sosial. 


Pendahuluan
Indonesia, selama masa pergerakan perjuangan kemerdekaannya, telah banyak memunculkan sosok tokoh bangsa. Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, adalah beberapa di antaranya. Tiga orang ini dikenal sebagai tiga serangkai pendiri bangsa. Mereka berjuang, dengan jalan yang tak selalu sama. Pemikirannya pun, cukup banyak yang berbeda. Mereka disatukan oleh satu tujuan, yakni kemerdekaan Indonesia.
Tidak seperti, dua kawanya. Sjahrir lebih kurang populer di tengah masyarakat, utamanya pelajar dan pemuda. Melambung tingginya nama Soekarno-Hatta, seakan menutupi keterlibatan dirinya, dalam pergerakan nasional. Namun, ini bukan berarti pengaruhnya kecil bagi bangsa ini. Kurikulum pembelajaran kita saja, yang kurang memperkenalkannya pada masyarakat. Bung Sjahrir, merupakan pribadi yang jujur dan bersahaja. Dia seorang humanis yang kritis, juga seorang sosialis yang demokratis bahkan ada yang bilang dia juga punya sisi liberalis. Dia memiliki pemikiran yang unik dan menyeluruh, serta cukup kontroversial pada masanya. Banyak yang mengatakan, pemikirannya melampaui masanya. Oleh karena itu, kajian mengenai diri dan pemikirannya, tentu penting untuk dilakukan. Dengan tujuan, agar kita dapat lebih memahami dan mengambil pelajaran dari dirinya, serta melanjutkan cita-citanya.
Mengenal Lebih Dekat Bung Sjahrir
Sumatera dikenal sebagai salah satu daerah, yang banyak melahirkan para tokoh pahlawan nasional. Salah satunya yaitu Bung Sjahrir, seorang berperawakan kecil, yang lahir di tengah-tengah masyarakat Padang Panjang, Sumatera Barat. Tepatnya tanggal 05 Maret 1909, Sjahrir membuka mata untuk pertama kalinya di dunia. Hal itu, tentu menjadi kebahagian besar bagi ayah dan ibunya. Pada masa sekarang ini , hal itu sepatutnya juga menjadi kebahagiaan besar bagi bangsa, karena atas jasa dan kontribusinyalah, merdeka saat ini bukan hanya sekedar menjadi mimpi belaka.
Ayahnya Mohammad Rasad gelar Maharadja Soetan, asal Kota Gadang. Bekerja sebagai Jaksa Kepala Landraad, Pengadilan Negeri. Ibunya, seorang putri dari keluarga raja-raja lokal swapraja, bernama Poetri Siti Rabiah, yang berasal dari Natal. Dengan kedua orang tuanya tersebut, dapat diketahuilah bahwa Sjahrir hidup dalam keluarga yang cukup terpelajar. Apalagi saat itu orang-orang kota gadang, memang menjadi angkatan pertama yang memperoleh kesempatan untuk memasuki sekolah-sekolah belanda.[1]
Sjahrir di masa mudanya selalu tampil elegan dengan tatapan dan senyum ramahnya. Pendidikan awalnya ditempuh di ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar berbahasa Belanda.  Setelah itu dia melanjutkan pendidikannya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, Sekolah Menengah Pertama berbahasa Belanda. Sjahrir diantara teman-temannya tergolong murid yang pintar. Dia gemar membaca buku dan juga suka bermain biola. Pada Tahun 1926, Sjahrir mulai belajar di Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung. Pada masa sekolahnya itu, Sjahrir aktif dalam pergerakan organisasi Pemuda Indonesia.
Dibandingkan dengan politik, Sjahrir di masa mudanya jauh lebih tertatik pada kegiatan sosial. Ini terbukti dengan didirikan olehnya, Tjahja Volksuniversiteit, sebuah perguruan nasional, yang memberikan pembinaan buta huruf secara gratis, kepada anak-anak pribumi.[2] Terlihat dengan jelas, bahwa jiwa pendidik telah ada dalam dirinya sejak muda.
Setelah lulus dari AMS Bandung, Sjahrir melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda. Awalnya ia belajar di Fakultas Hukum, Gemeente Universiteit Van Amsterdam, dan kemudian dia mendaftar di Universiteit Leiden. Di bagian hidupnya inilah, dia mulai masuk ke dalam dunia politik. Walau belum sepenuhnya.
Dia lebih memilih untuk menapaki minatnya belajar Sosialisme, ketimbang masuk ke dalam kelas perkuliahan. Agaknya, dorongan keinginan untuk melepaskan bangsanya dari cengkeraman imperialis, telah menghantarkan Sjahrir pada paham Marxisme. Dia bukan seorang Marxis, dia hanya sekedar ingin mempelajarinya. Bahkan kelak, dia mengajukan berbagai kritik terhadap ajaran ini. Terlepas dari itu semua, yang paling menarik ialah pertemuannya dengan Mohammad Hatta. Hatta saat itu juga tengah menempuh kuliah di Belanda, sekaligus memimpin organisasi PI (Perhimpoenan Indonesia) di Belanda. Sebagai sesama perantau, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk merasa cocok satu sama lain. Sjahrir bergabung dengan Perhimpoenan Indonesia, dan menjadi Sekertaris pada februari 1930. Hubungan persahabatannya dengan Hatta terus berlanjut. Hubungan inilah yang kelak ikut menghantarkan Indonesia pada Kemerdekaannya.
Tak berselang lama, berita buruk dari Indonesia terdengar sampai ke Belanda. PNI (Partai Nasional Indonesia) dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda, dan pimpinannya Soekarno, ditangkap dan dipenjarakan. Mendengar hal itu, Hatta dan Sjahrir, langsung mengambil tindakan responsif. Mereka memutuskan untuk membantu wadah baru yang didirikan oleh para penentang pembubaran PNI, yakni Pendidikan Nasional Indonesia, atau disingkat PNI-Baru. Untuk mewujudkan itu, Sjahrir memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Pada Kongres pertama PNI-Baru, Sjahrir terpilih menjadi ketua umum partai. Sebuah partai kader, dengan ciri pendidikan yang kental, sebagaimana yang diinginkan Sjahrir.
Berselang beberapa waktu, Hatta kembali ke Indonesia. PNI-Baru  berganti tampuk kepemimpinan. Sjahrir mempersiapkan diri untuk kembali melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Namun, sayangnya keinginannya itu tak pernah tercapai.  Tahun 1934, beberapa aktivis PNI-Baru, termasuk Hatta dan Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan. Tak berhenti disitu, Hatta dan Sjahrir setelah itu dibuang ke Boven Digul, sebelum kemudian dipindahkan ke Banda Neira. Kurang lebih, 7 tahun mendekam di pembuangan, tak pernah menghentikan langkah pergerakan mereka.
Pada saat peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, tepatnya tahun 1942, Hatta dan Sjahrir dibebaskan dari pembuangan. Pergerakan perjuangan mereka berlanjut untuk melawan Fasis Jepang. Dalam pergerakan kali ini, agaknya Sjahrir mengambil jalan yang berbeda dari Soekarno dan Hatta, dia tidak mau untuk ikut bekerjasama dengan Jepang, dan memilih untuk bergerak dari bawah tanah.
Jepang kalah dari Amerika Serikat tahun 1945, Hal ini harusnya menjadi kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaannya. Sjahrir menjadi orang yang pertama tahu, perihal kekalahan Jepang ini. Dia segera memberikan informasi kepada Soekarno dan Hatta. Namun, Soekarno dan Hat  ta kurang yakin, mengenai hal ini. Sehingga mereka mengambil langkah untuk mengkonfirmasi hal itu pada pihak Jepang. Akhirnya setelah perundingan yang alot dengan pihak Jepang. Keputusan untuk memproklamirkan kemerdekaan didapatkan, dengan ketentuan hal itu menjadi internal bangsa Indonesia, dan tidak diketahui oleh Jepang (Hal ini untuk menghindari keputusan Status Quo dengan Belanda).
Kemerdekaan pun diproklamirkan. Sjahrir tidak hadir saat pembacaan teks proklamasi, hal ini dilatarbelakangi ketidakinginannya untuk mendapatkan kemerdekaan serahan Jepang.
Sejarah terus berlanjut. Indonesia masih dalam tahap awal dengan begitu banyak urusan kenegaraan yang harus dirancang dan ditetapkan.  Pada oktober 1945, seiringan dengan dikeluarkannya Makloemat X Wakil Presiden, maka dimulai pula awal pemerintahan parlementer Indonesia. Beberapa bulan kemudian Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri dan kabinetnya dilantik oleh Presiden Soekarno. Sjahrir menjadi Perdana Menteri pertama di Indonesia, juga sekaligus menjadi Perdana Menteri termuda di Dunia, saat itu umurnya masih 36 tahun. Bung Sjahrir memimpin kabinet selama 3 periode. Setelah melepas jabatannya sebagai Perdana Menteri, Sjahrir sempat menjadi Utusan Khusus Republik Indonesia di PBB, Penasihat Presiden, Duta Besar di beberapa negara, dan pada akhirnya dia hanya menjadi Warga Negara biasa, yang berusaha untuk mengembangkan partainya, yaitu PSI (Partai Sosialis Indonesia). Begitu banyak prestasi yang diraihnya. Begitu banyak pula hambatan  dan cemoohan yang mendatanginya. Sampai akhirnya dia harus, menerima berbagai tuduhan dan tudingan. Partainya dibubarkan, bernasib sama dengan partai Masyumi. Dia pun menjadi tahanan politik. Menghabiskan sisa waktunya sebagai tahanan negeri yang diperjuangkannya sepenuh hati. Dalam posisinya yang sebagai tahanan, kesehatannya terus memburuk. Sampai akhirnya, harus dirujuk ke Swiss untuk mendapatkan pengobatan.
Sembilan April 1966, sahabat dekat mendatanginya. Mengambil salah satu hal yang sangat berarti baginya. Dia pun memberikannya dengan sukarela. Toh, hanya hidup yang akan diambil. Dia meninggal dengan penuh suka dan duka. Meninggalkan harapan dan keyakinan, bahwa pemuda akan melanjutkan perjuangannya. Dengan Keputusan Presiden, Sjahrir diangkat menjadi Pahlawan Nasional, dan diminta agar dapat dimakamkan dengan upacara kenegaraan. Keluarganya menyetujui itikad baik negara. Jenazah Sjahrir dipulangkan dan dimakamkan di TMPU Kalibata. Mungkin sedikit aneh, sehari sebelumnya tahanan, berubah status menjadi Pahlawan.
Sosialisme Sjahrir
Seperti yang kita semua ketahui, Sjahrir adalah seorang sosialis. Dia adalah pendiri sekaligus pemimpin di PSI (Partai Sosialis Indonesia). Perkenalannya dengan Sosialisme dimulai saat dia  belajar di negeri Belanda. Tidak lama setelah perkenalannya, Sjahrir jatuh cinta pada Sosialisme. Karena cintanya ini pun, dia sering meninggalkan kelas kuliah, hanya demi mendalami minatnya pada Sosialisme.
Pada masanya itu, Sosialisme memang sedang dalam perkembangan yang pesat. Berkembang bersama dengan saudara dekatnya yang lebih radikal, yakni Komunisme. Sosialisme dan Komunisme, keduanya dianggap oleh sebagian orang sebagai jalan terbaik untuk tercapainya suatu kesejahteraan. Yang akan diwujudkan dengan, menciptakan keseimbangan dan kesamaan ditengah masyarakat. Keduanya memiliki jalan yang sama, yaitu Revolusi. Namun, ada beberapa perbedaan mendasar, misalnya dalam cara mewujudkan Revolusi tersebut. Komunisme, memandang Revolusi, harus dilakukan dengan keras, dengan perlawanan fisik melawan para borjuis. Sedangkan Sosialisme, memandang Revolusi sebagai jalan yang lebih damai, tanpa harus ada kekerasan. Komunisme, percaya bahwa hanya dengan partainyalah kesejahteraan dapat diwujudkan, atau dengan kata lain, ia percaya dengan sistem satu partai. Ia ingin mewujudkan yang namanya diktatur proletariat. Sedang Sosialisme, masih percaya dengan Pemilihan Umum. Masih percaya dengan sistem Multi-Partai. Ia akan memperjuangkan nilai-nilai dalam ideologinya, melalui institusi pemerintahan.
Sosialisme pada awalnya muncul sebagai reaksi terhadap pelaksanaan etika kapitalis dan pengembangan masyarakat industri.[3] Ia berusaha untuk mengkritisi sistem produksi kapitalis dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Ia memandang praktik-praktik borjuasi yang ada dalam masyarakat kapitalis, sebagai hal-hal yang tak bermoral. Namun, sayangnya sosialisme tidak mampu untuk menjelaskan kritiknya  tersebut, sehingga juga tidak dapat memberikan solusi terhadap peristiwa sosial tersebut. Ia tidak dapat mengungkapkan hukum-hukum perkembangan kapitalisme, serta tidak dapat menunjukan kekuatan sosial yang bagaimana, yang dapat membentuk masyarakat yang baru. Oleh karena itu, sosialisme semacam ini disebut sebagai Sosialisme Utopis.[4]
Di Indonesia, Sosialisme berkembang pesat seiringan dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dengan cepat, Sosialisme menjelma menjadi ideologi rakyat. Ajaran-ajarannya sangat diterima, karena terdengar begitu indah di telinga masyarakat, yang pada saat itu kebanyakan adalah buruh dan pekerja. Sosialisme kemudian, banyak dikembangkan dan direlevankan dengan keadaan masyarakat Indonesia. Munculah, istilah-istilah baru seperti Sosialisme Religius, Sosialisme Rakyat, Marhaenisme, dan lain sebagainya. Sutan Sjahrir, menjadi salah satu aktor utama, dalam perkembangan Sosialisme di Indonesia. Bersama dengan Hatta, Bung Sjahrir berusaha menghidupkan aura Sosialisme yang baru, yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan bangsanya.
Sosialisme Sjahrir, sering juga disebut dengan Sosialisme Kerakyatan. Sosialisme ini, didasarkan pada dorongan rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan, dengan tetap memperhatikan hak-hak individu dalam masyarakat. Selain itu, dasar fundamental lain yang membangun Sosialisme Sjahrir adalah Demokrasi. Keunikan Sosialisme Sjahrir, dibandingkan macam Sosialisme lainnya, ialah ada pada inti pokok rumusannya, yakni Kemanusiaan. Kemanusiaan menjadi, kata kunci untuk memahami Sosialisme Sjahrir. Bagaimana tidak, Sosialisme Sjahrir dalam setiap bagian isi rumusannya, selalu menekankan, untuk memperhatikan aspek kemanusiaan. Bukan aspek kekolektifan, atau pun keindividualan.
Sosialisme Sjahrir menentang segala bentuk otoritarianisme, baik dalam bentuk fasisme, maupun komunisme (Diktatur Proletariat). Sosialisme Sjahrir juga tidak berlebihan dalam menolak kapitalisme, bahkan masih memberi kesempatan pada ekonomi pasar dan usaha-usaha swasta untuk dapat bekerja secara bebas dengan tetap memperhatikan aspek-aspek sosial.[5] Ini menunjukan, bahwa Sosialisme yang diperkenalkan Sjahrir, bersifat Realistis. Tidak sekedar Idealis belaka. Dalam rumusan dasar-dasar dan pandangan politik Partai Sosialis Indonesia, dijelaskan: "Sosialisme semestinya, tidak lain daripada penyempurnaan dari segala cita-cita kerakyatan, yaitu kemerdekaan serta kedewasaan kemanusiaan yang sebenarnya".[6] Dasar-dasar tersebutlah yang membangun Sosialisme Sjahrir.

Sjahrir dan Pemikiran Politiknya
Setelah membahas kehidupan dan isi pandangan Sosialisme Sjahrir. Pada pembahasan ini, yang akan dibahas yaitu, mengenai pemikiran-pemikiran politik Sjahrir.
Sebagai seorang politikus, Sjahrir jauh berbeda dengan sesama politikus lainnya. Dia punya jalannya sendiri dalam memandang dan menjalankan politiknya. Dia menganggap politik, bukanlah sebagai sesuatu yang diinginkannya, melainkan sesuatu, yang tak terelakkan baginya. Politik dalam pandangannya, bukan sekedar merebut kekuasaan, dan memanfaatkannya. Bukan pula, sekedar berarti mempertaruhkan modal untuk meraih keuntungan yang lebih besar. Sjahrir memandang politik lebih sebagai suatu perkara etis, yang dalam menentukan tujuannya haruslah dapat dibenarkan oleh akal sehat, dan memenuhi syarat-syarat moral. Sjahrir tidak pernah melihat politik sebagai perkara pragmatis, yang sekedar menuntut tercapainya sebuah tujuan, tanpa ada pertimbangan nilai-nilai moral.[7]
Dalam salah satu suratnya, terdapat sepenggal sajak yang berbunyi : "Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan".[8] Sajak ini tentu terdengar begitu indah, bagi para penyuka sajak. Maknanya begitu mendalam, dan cukup sulit untuk digali. Namun, pada dasarnya, sajak ini adalah prinsip hidup dasar bagi Sjahrir. Semua bagian dalam hidupnya, termasuk kehidupan politiknya, berpegang pada prinsip ini. Keberanian untuk bertaruh dalam hidup, menjadikannya bersahaja karena membuatnya mampu berdiri dan bertahan dalam pendiriannya. Sekalipun begitu, bukan berarti Sjahrir seorang yang polos dan tidak paham dengan berjalannya politik praktis, serta hanya mengandalkan keberanian. Dia berani, dengan dukungan rasional dan moral. Bukan hanya sekedar berani tanpa menggunakan akal. Terbukti dari langkah-langkah politis yang diambilnya. Semuanya selalu dengan pertimbangan yang ketat dan tepat. Sebut saja, pemikirannya mengenai revolusi. Dia membagi revolusi menjadi 2 bagian, yang pertama yakni Revolusi Nasional, dan kedua yaitu Revolusi Kerakyatan.
Revolusi Nasional ialah, laku perubahan yang mengarahkan kita kepada terbentuknya suatu sistem demokrasi yang tetap. Dasar dari Revolusi Nasional bukanlah Nasionalisme, melainkan adalah Demokrasi. Nasionalisme yang berlebihan dalam pandangan Sjahrir, hanya akan menciptakan Fasisime baru. Untuk itu, Revolusi Nasional yang menghantarkan kepada Demokrasi haruslah didahulukan.[9]
Setelah Revolusi Nasional diharuskan adanya suatu Revolusi Kerakyatan, yakni upaya perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Dimana rakyat yakni setiap individu, dapat hidup merdeka, dengan mendapatkan kebebasan berfikir, berbicara, berserikat, dan hak-hak dasar lainnya. Selain itu, Revolusi Kerakyatan, juga mengarahkan pola pikir sosial agar lebih mandiri, dan tidak mudah dimobilisasi oleh siapa pun juga.
Dalam upaya mewujudkan kedua bentuk revolusi tersebut, dibutuhkan yang namanya Partai Politik. Bung Sjahrir bersama dengan Hatta, berpendapat bahwa pengelolaan partai politik harus dijalankan dengan sistem multi-partai. Untuk mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar kepada satu orang atau satu golongan.[10] Selain itu, menurut Sjahrir, partai politik lebih baik berbentuk partai kader, dari pada partai massa. Pendidikan politik akan lebih mudah disampaikan dalam partai kader, ketimbang partai massa. Dari gagasannya inilah, kemudian partai yang didirikannya (Partai Sosialis Indonesia), konsisten dengan tetap berbentuk partai kader, sampai dengan akhir masanya. Ini menjadi salah satu bukti, bahwa Sjahrir dalam berpolitik tidak bersifat oportunis.
Partai Sosialis Indonesia, dalam perkembangannya, memang banyak mendapatkan kendala. Kekurangan anggota dan pendukung adalah satu dari beberapa kendala yang dialaminya. Bentuknya yang berupa partai kader, dan penekanan pada kegiatan edukasi didalamnya, menjadi salah satu sebab munculnya kendala. Padahal, PSI menyimpan cita-cita yang begitu mendalam untuk rakyat. Cita-citanya yakni, untuk mewujudkan kebebasan dan kemandirian manusia pada setiap individu ditengah masyarakat. Seorang ahli ilmu politik terkemuka, Herbert Feith, memandang PSI sebagai jelmaan politik sosial-demokrasi di Indonesia. Namun, baginya PSI lebih cocok untuk disebut sebagai partai liberal-sosialis daripada sosial-demokratis. Seandainya saja, istilah "liberal" tidak telanjur diasosiasikan dengan kapitalisme yang tak terkendali dan imperialisme di Indonesia.[11]
Jika dibandingkan dengan para politikus Indonesia saat ini, tentunya sangat sulit menemukan sosok yang serupa dengan Sjahrir. Namun, setidaknya kita harus tetap yakindan percaya, bahwa masih ada pemuda-pemuda yang kelak akan melanjutkan pergerakan dan  pemikirannya. Sekurang-kurangnya, adalah diri kita sendiri yang masih mau membaca sejarahnya.



Pandangan Ekonomi Sjahrir
Keluar dari masalah politik, kita masuk ke pembahasan mengenai Ekonomi. Ekonomi tentunya merupakan salah satu hal yang bersifat krusial, di dalam suatu negara. Apalagi bagi negara yang baru saja merdeka, dan baru mulai membangun bangsanya. Sjahrir selain sebagai seorang politikus, juga sekaligus seorang Economical Thinker. Jika mengetahui bahwa dirinya adalah seorang sosialis, maka mungkin kita akan membangun persepsi, bahwa dalam ekonomi dia membenarkan sistem ekonomi distribusi khas sosialis dan komunis. Dimana, setiap kebutuhan rakyat akan dipenuhi oleh negara melalui pendistribusian, serta melarang adanya perusahaan yang didirikan oleh pribadi atau swasta. Namun, pada kenyataannya Sjahrir tidak begitu. Sjahrir, memahami bahwa setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama lain. Sehingga negara tidak mungkin, unruk memenuhi kebutuhan setiap rakyatnya dengan prinsip sama rasa.
Untuk memperdalam pemahaman ekonominya, Sjahrir membaca tulisan John Stuart Mill (1806-1873).[12] John Stuart Mill, dikenal sebagai seorang pemikir liberal abad ke 19. Dengan begitu tentunya cukup besar kemungkinan dia  terpengaruh oleh pemikiran Mill dalam hal ekonomi. Ini juga didukung oleh, tulisannya dalam Perjuangan Kita, yang mengatakan : "Selama dunia tempat kita hidup masih dikuasai oleh modal, kita harus memastikan bahwa kita tidak memiliki kebencian yang dalam pada kapitalisme. Ini menyangkut negeri kita yang dibuka untuk kegiatan ekonomi asing sejauh mungkin-selalu dengan syarat tidak merusak kesejahteraan rakyat kita."
Pada dasarnya, Sjahrir bersikap realistis dalam pandangan ekonominya. Dia membuka kesempatan adanya investasi asing, dan pendirian perusahaan swasta, selama tidak berdampak buruk bagi kesejahteraan rakyat. Dia terbuka dengan kapitalisme, dengan syarat negara mampu mengendalikannya. Inilah yang kemudian juga menjadi salah satu dasar, dari sistem hubungan luar negeri bebas-aktif.
Penutup
Bung Sjahrir, selama hidupnya, telah memberikan berjuta kontribusi bagi bangsa dan negara. Mulai dari masa Imperialisme Belanda, Fasisme Jepang, sampai dengan Pasca-Kemerdekaan. Pergerakannya telah membawa Belanda hengkang dari Indonesia. Jepang pun pulang kembali ke negeri asalnya. Diplomasinya, membawa angin segar bagi Kemerdekaan bangsa. Konferensi Meja Bundar, adalah salah satu hasil utamanya.
Pemikiran Sjahrir, kadang memang sulit untuk dipahami oleh masyarakat. Namun, itu bukan berarti dia hanya seorang elite yang tak peduli dengan rakyatnya. Pemikirannya memang kompleks dan terstruktur, namun cintanya pada rakyat tak akan pernah dapat terukur. Pemuda produktif itulah dia. Pemikirannya melampaui masanya. Dia seorang sosialis yang cinta kebebasan, serta seorang demokrat yang cinta akan kemanusiaan. Semoga nilai-nilai, pemikiran-pemikiran, serta kiprah perjuangan Sjahrir dapat menjadi obor kecil yang menerangi hati nurani bangsa Indonesia.




Daftar Pustaka

Silahuddin. 2014. Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali. Islamic Studies Journal. Vol. 2, No. 1
Anwar, Rosihan. 2010. Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity. Jakarta. Kompas.
Sjahrir, Sutan. Perjuangan Kita. Jakarta. Anjing Galak Penerbitan.



[1] H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta: Kompas, 2010), 34.
[2] H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta: Kompas, 2010), 35.
[3] Bernard Crick, Sosialisme, (Pustaka Promethean, 2001), 50
[4] Eko Supriyadi, Sosialisme Islam (Jogja: Rausyan Fikr Institute, 2012), 56
[5] H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta: Kompas, 2010), 113.
[6] H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta: Kompas, 2010), 115
[7] H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta: Kompas, 2010),  8.
[8] Sjahrazad, Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan, diterjemahkan oleh H.B. Jassin (Jakarta: 1990), 44 dan 85
[9] Sutan Sjahrir, Perjuangan Kita, (Jakarta: Anjing Galak Penerbitan), 19.
[10] H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta: Kompas, 2010),  11.
[11] H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir: True Democrat, Fighter for Humanity (Jakarta: Kompas, 2010),  17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar