Abstraksi
Kreatifitas
akal dan dorongan keingintahuan manusia, mendorong munculnya variasi dalam cara
berfikir dan cara penyelesaian masalah manusia. Salah satu implikasi konkret
yang terjadi adalah munculnya berbagai aliran pemikiran dalam lingkup ilmu
pengetahuan. Aliran-aliran besar seperti Rasionalisme dan Empirisme, memicu
terjadinya permasalahan dalam kerangka intelektual. Utamanya dalam permasalahan
sumber pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, kehadiran Kritisisme,
membuka lembaran baru bagi ilmu pengetahuan. Tak berhenti disitu, pada abad
ke-20 permasalahan ilmu pengetahuan terus muncul. Namun pada masa ini,
permasalahan yang paling banyak dibahas adalah mengenai standar garis batas
ilmu dan non-ilmu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Demarkasi. Selain itu, pada masa ini, ilmu pengetahuan
didominasi oleh paham positivis yang mengedepankan induksi, observasi dan
verifikasi sebagai prinsip metodologi ilmu pengetahuan. Adalah Karl Raimund
Popper yang kemudian, mempermasalahkan dan mengkritisi prinsip-prinsip yang
telah dibangun oleh kaum posistivis ini. Popper bersama dengan aliran pemikran
Rasionalisme Kritis, berusaha untuk memberikan prinsip-prinsip baru yang
olehnya dianggap lebih benar dan lebih kuat. Prinsip-prinsip ini diantaranya
adalah prinsip Falsifikasi yang dijadikan sebagai standar ilmu pengetahuan.
Pada tulisan ini, penulis akan menjelaskan mengenai Karl Popper, bersama dengan
aliran Rasionalisme Kritisnya, dan juga kritiknya terhadap induksi, beserta
Falsifikasi yang ditawarkannya sebagai solusi bagi standar ilmu pengetahuan.
Kata
Kunci : Karl Popper, Rasionalisme Kritis, Induksi, dan Falsifikasi
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan atau yang dalam
Bahasa Inggris disebut dengan Science, telah mengalami berbagai
perkembangan hingga saat ini. Perkembangan ini sifatnya berkelanjutan, dan akan
terus terlaksana sampai waktu yang tidak ditentukan. Dorongan keingintahuan
manusia-lah yang mendorong terjadinya perkembangan ini. Kreatifitas akal
manusia, menyebabkan munculnya berbagai perubahan dan peningkatan dalam lingkup
ilmu pengetahuan. Salah satu bukti dari perkembangan ilmu pengetahuan adalah
munculnya berbagai aliran-aliran pemikiran yang masing-masing dari mereka,
menawarkan konsep dan metodologinya sendiri. Konsep dan metodologi yang ditawarkan
oleh aliran-aliran tersebut, dibangun diatas fondasi paradigmanya
masing-masing. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa cara berfikir manusia bersifat
variatif, dan kreatifitas akal akan terus berkembang dan memunculkan
konsep-konsep baru yang akan menambah keberagaman dalam lingkup ilmu
pengetahuan.
Pada abad ke-20, perkembangan ilmu pengetahuan
mencapai tahap, yang lebih kompleks. Pada masa ini sistem ilmu pengetahuan
didominasi oleh para saintis berpaham Positivisme. Aliran positivisme atau juga biasa disebut dengan Empirisme-Logis
ini, berkembang dan menyebar secara cepat di tengah para saintis. Mereka terdiri atas
para ahli filsafat dan saintis yang menunjukkan kecenderungan sikap yang anti
terhadap metafisik, anti terhadap spekulatif, realistis, materialistis, dan kritis,
serta skeptis.[1]
Aliran pemikiran ini pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte, melalui
bukunya yakni Cours de Philosophie Phositive.[2]
Sistem ilmu pengetahuan dari aliran pemikiran inilah yang kemudian akan
dikritisi oleh Karl Popper.
Dominasi aliran positivisme terus
berlanjut sepanjang abad ke-20. Utamanya saat kehadiran Lingkar Wina (Vienna
Circle) yang pada saat itu dikenal sebagai pusat intelektual, dengan para
anggotanya yang merupakan saintis-saintis terkenal. Lingkar Wina, sangat berperan
besar dalam menyuburkan paradigma positivistik dalam sistem Ilmu Pengetahuan. Salah
satu masalah yang dibahas dalam lingkar ini adalah permasalahan Demarkasi,
yaitu permasalahan garis pemisah ilmu pengetahuan. Dimana mereka mencoba merumuskan
standar tetap untuk menentukan apakah suatu ilmu dapat dikategorikan sebagai Science
atau Pseudo-Science, atau dengan kata lain, Meaningless atau Meaningfull.[3]
Kesimpulan yang dikemukakan oleh para saintis di Lingkar Wina adalah bahwa
verifikasi-lah yang menjadi standar dari Demarkasi ini. Untuk itu sesuatu dapat
dikatakan Science ketika sesuatu tersebut dapat diverifikasi melalui observasi
terhadap objek dan fakta yang ada. Hal inilah yang menjadi salah satu sasaran
kritik Popper.
Kehadiran Karl Popper sebagai
seorang filusuf sekaligus seorang saintis, yang kemudian mengkritisi Lingkar
Wina, beserta dengan sistem positifistiknya, cukup kontroversial pada saat itu.
Namun, dari kritiknya inilah kemudian ilmu pengetahuan dapat bertransformasi menjadi
lebih kompleks dan kokoh pada masa sekarang ini. Karl Popper dengan aliran
Rasionalisme-Kritis-nya, sangat besar pengaruhnya pada abad ke-20.[4] Teori
falsifikasi yang dikemukakannya terbukti lebih dapat diterima dan lebih kuat
dasarnya, ketimbang prinsip verifikasi induksi. Walau demikian, banyak prinsip
positivistik masih tetap eksis dalam kerangka ilmu pengetahuan saat ini.
Kemampuan dan kemenarikan pemikiran Karl Popper inilah yang akan penulis bahas
pada tulisan ini.
Biografi
Singkat Popper
Karl Raimund Popper dilahirkan pada tahun 28 Juli 1902 di Wina.
Ibunya menanamkan ketertarikannya pada
musik hingga ia sempat ingin mengambil karir di bidang
ini. Kemudian, kecintaanya terhadap musik menjadi kekuatan inspiratif dalam
membangun pemikiran dan originalitas
interpretasi antara dogmatis dan pemikiran kritis. Popper dilahirkan
ditengah keluarga Yahudi, sebelum kemudian mereka beralih agama ke Protestan
dengan mengikuti denominasi Lutheranisme.[5]
Ayahnya Dr. Simond Siegmund Karl Popper bekerja sebagai pengacara
professional. Dalam karya otobiografi-nya, Popper menjelaskan bahwa ayahnya
lebih sebagai seorang cendekiawan, ketimbang sebagai seorang pengacara. Ayahnya
memiliki ketertarikan yang besar kepada sastra, sejarah, dan juga filsafat.
Dalam perpustakaan pribadi di dalam apartemennya terdapat sekitar 14.000 karya,
termasuk karyanya Plato, Francis Bacon, Descartes, Spinoza< Nietzsche, John
Locke, Kant, and John Stuart Mill.[6]
Pada usianya yang masih muda, yakni 16 tahun (1918), Popper
memutuskan untuk melawan sistem yang diberlakukan oleh pemerintah pada masanya.
Ini dikarenakan sikap pemerintah yang mempolitisasi para pemuda melalui sistem
pendidikan yang dilaksanakan. Perlawanannya ini terus berlanjut. Salah satu
bentuk perlawanannya adalah dengan memutuskan untuk keluar dari sekolahnya,
meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan kedua orang tuanya. Mulai dari saat itu, Popper memilih untuk
mendaftar sebagai pendengar bebas Universitas Wina. Setelah 4 tahun menjadi
pendengar bebas, pada tahun 1922 baru lah Popper resmi menjadi Mahasiswa di
Universitas Wina. Sebelum itu, Popper sudah melewati pengujian Matrikulasi
terlebih dahulu.
Pada
masanya ini, Popper menjadi seorang simpatisan Marxis, dan bahkan dapat
dikatakan sebagai seorang Marxis pula. Dia dan pemuda di masanya percaya, bahwa
dengan Komunisme lah, konflik yang terjadi dapat diatasi.[7]
Namun simpatinya ini tidak bertahan lama. Pada usianya yang tepat berumur 17
tahun ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang
menghalalkan segala cara dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa.
Dorongan lain yang juga sangat kuat untuk membuatnya berubah menjadi seorang
anti-Marxis, adalah karena terjadinya tragedi demonstrasi dan pemberontakan
mahasiswa, yang berujung pada banyaknya korban. Utamanya dari pihak mahasiwa
yang ditembak dan dibunuh oleh polisi ditempat kejadian.
Adapun riwayat hidup Popper,
termasuk juga riwayat ilmu dan filsafatnya, di tandai dengan kebencian akan segala
usaha untuk memutlakkan sesuatu yang telah menggores pribadinya, baik karena
pengalamannya maupun akibat kekejian dari pengamukan ideologi Hitler dan kaum Nazi yang
mengakibatkan terjadinya pembantaian
pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari teman- temannya yang
terbunuh. Maka sejak saat itu pun perkembangan
macam-macam ideologi dalam
rangka sejarah filsafat Barat mulai di
kecam Popper. Sebagaimana halnya
dalam ilmu alam segala teori yang bercorak dogmatis itu di tolaknya,
demikian pun dalam filsafat sosial dan ilmu masyarakat. Terutama ajaran Plato,
Hegel dan Marx oleh Popper di curigai
sebagai ideolgi yang menjadi musuh utama dari “open society“ yang di
idam- idamkannya.[8]
Dalam aliran-aliran filsafat, Popper termasuk dalam aliran
Rasionalisme Kritis, bahkan merupakan perintis aliran tersebut. Meskipun
berkenalan dengan beberapa tokoh dalam lingkaran Wina, namun ia tidak pernah
menjadi anggota lingkaran Wina. Bahkan ia jengkel, kalau pandangan-pandangannya
dikaitkan dengan positivisme logis. Adapun Tokoh yang cukup berpengaruh pada
Popper yang berkaitan dengan
perkembangan pemikiran filsafatnya adalah Karl Buhler, seorang professor
psikologi di Universitas Wina. Buhler memperkenalkan pada Popper tentang 3
tingkatan fungsi bahasa,
yaitu fungsi ekspresif,
fungsi stimulatif, dan
fungsi deskriptif. Dua fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia
dan binatang sedangkan fungsi ketiga khas pada bahasa manusia dan bahkan tidak
selalu hadir. Dan pada perkembangannya Popper menambahkan fungsi keempat yaitu
fungsi argumentatif, yang dianggapnya terpenting karena merupakan basis
pemikiran kritis. Selain itu, Popper juga banyak menarik perhatian melalui
pemikiran-pemikirannya. Beberapa diantaranya yang paling menarik adalah,
kritiknya terhadap induksi, teori politiknya yakni, The Open Society,
dan teori falsifikasi.
Karl Popper menginggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di
London Selatan akibat penyakit jantung. Adapun beberapa karya tulisnya yang
terbesar antara lain sebagai berikut; The Poverty of Historicism (1945),
The Open Society and Its Enemies I dan II (1945), The Logic of
Scientific Discovery (1959), Conjectures and Refutations: The Growt of
Scientific Knowledge An Evolutionary Approach (1963), The Philosiphy of
Karl Popper (1974), Unended Quest, dan The Self and Its Brain.[9]
Rasionalisme
Kritis Popper
Aliran
pemikiran yang dipelopori dan dibangun oleh Popper, disebut olehnya dengan
terma Rasionalisme Kritis. Dalam satu terme tersebut, terkandung dua terma yang
berbeda, yakni Rasionalisme dan Kritis. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai
Rasionalisme Kritis, akan lebih baik apabila diawali dengan membahas makna dari
kedua terma tersebut.
Rasionalisme adalah paham atau aliran pemikiran yang menekankan
bahwa ilmu pengetahuan selalu berkaitan erat dengan akal. Dalam arti sempit, rasionalisme
dapat diartikan sebagai paham yang
menganggap dan menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh akal atau. Ini
berarti bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan indera. Mengenai
ilmu, rasionalisme bahwa mustahillah membentuk ilmu hanya berdasarkan fakta,
data empiris, atau pengamatan terhadap fakta.[10]
Aliran ini disebut-sebut dipelopori oleh Rene Descartes. Rene Descartes adalah
seorang filusuf yang juga dikenal sebagai bapak filsafat modern. Salah satu
yang paling terkenal dari Descartes adala pernyataannya, yakni Cogito Ergo
Sum yang berarti "Aku berfikir, maka aku ada”. Pernyataan inilah yang
kemudian menjadi dasar dari aliran Rasionalisme dalam membangun sistem
berfikirnya.
Sedangkan terma kritis dalam Rasionalisme kritis dapat dimaknai
sebagai kata sifat, yang mensifati kata Rasionalisme. Terma ini dapat juga
dihubungkan dengan aliran pemikiran Kritisisme yang juga merupakan salah satu
aliran besar disamping Rasionalisme dan Empirisme. Aliran pemikiran Kritisisme
merupakan bentuk penyelesaian dari permasalahan yang terjadi antara
Rasionalisme dan Empirisme. Aliran ini mengakui peranan akal dan keharusan empiris.
Kemudian dicobanya untuk mengadakan sintesis. Walaupun semua pengetahuan bersumber pada akal (Rasionalisme),
tetapi ada pengertian timbal balik dari objek atau benda (empirisme) jadi
metode berpikir ini, disebut metode
kritis.[11]
Rasionalisme Kritis, pada dasarnya
terambil dari tradisi, yang tergambarkan di Yunani, yakni kegiatan diskusi
terbuka yang mendiskusikan teori-teori dengan maksud untuk menemukan kelemahan
dari suatu teori, agar selanjutnya teori tersebut dapat dikembangkan dan
ditingkatkan.[12]
Menurut Popper dalam diskusi semacam itu, para pesertanya harus memiliki sikap
yang siap untuk menyimak argumen kritis dan belajar dari pengalaman.[13]
Dalam pengertian yang lebih fundamental namun sederhana, Rasionalisme Kritis
dapat dimaknai sebagai sikap yang mengakui bahwa; ”I may be wrong, and you
may be right, and by an effort we may get nearer to the truth”.[14]
Sesuai dengan yang didefinisikan
Popper, Rasionalisme Kritis bergerak untuk memastikan keterbukaan dalam memberi
dan menerima kritikan, semata-mata dengan maksud agar teori yang dikritik
tersebut dapat berkembang. Dengan kehadirannya ini, teori-teori ilmu
pengetahuan menjadi lebih terbuka dengan kritik dan dapat lebih berkembang dan
terhindar dari spekulasi. Selain itu dengan prinsip semacam ini pun, ilmu
pengetahuan dapat terlepas dari dogma dan kestatisan, atau dengan kata lain
menjadi dinamis dan dapat mengalami transformasi.
Kritik
Terhadap Induksi
Salah
satu permasalahan yang sangat menarik bagi Popper adalah masalah induksi. Karl
Popper dengan jelas menolak induksi untuk dijadikan prinsip dalam verifikasi
kebenaran ilmu pengetahuan. Prinsip generalisasi yang terkandung dalam induksi,
adalah salah satu yang paling bermasalah, menurut Popper. Menurutnya, sangat
tidak benar untuk memberikan predikasi yang sama kepada semua A, setelah mengobservasi
beberapa atau bahkan sebagian besar A saja.[15]
Dalam pandangan Popper suatu teori tidak
dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui
verifikasi seperti anggapan positivis, melainkan karena dapat diuji, melalui
berbagai percobaan sistematis untuk menyalahkannya. Kemudian apabila suatu
hipotesa atau teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran
hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut corroboration.[16] Dalam
keseluruhan teori Popper tidak ada yang disebut sebagai kebenaran final atau
kebenaran mutlak, yang ada hanyalah corroboration, yang bermakna
diperkuat keilmiahannya.
Falsifikasi
Sebagai Solusi
Dalam
upayanya mengkritisi induksi, Popper tidak sekedar melakukan penyalahan,
melainkan juga memberikan solusi. Popper menghadirkan prinsip atau teori
falsifikasi untuk dijadikan sebagai solusi dari permasalahan induksi. Prinsip
falsifikasi ini berlaku sebagai sistem pembuktian salah dari suatu teori atau
hipotesa. Berbeda dengan verifikasi yang mencoba membuktikan benarnya suatu
teori atau hipotesa. Menurut Popper sesuatu dapat dikatakan ilmiah, apabila
sesuatu tersebut secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyatakan
salahnya (Falsifiable).[17]
Prinsip falsifikasi inilah kemudian yang
dijadikan oleh Popper sebagai standar dari demarkasi ilmu pengetahuan. Dengan
kata lain, suatu teori dapat dikatakan sebagai Science apabila dapat
dikritisi, atau masih berkemungkinan ditemukan salahnya. Sedangkan teori yang
tidak dapat dikritisi atau tidak berkemungkinan ditemukan salahnya, maka teori
tersebut dikategorikan sebagai Pseudo-Science.[18] Contoh
cara kerja falsifikasi adalah ketika suatu teori diajukan, maka akan ada
pengujian kesalahan, ketika teori tersebut dapat dikritisi oleh para saintis
lain, maka teori tersebut dikatakan ilmiah. Kemudian apabila teori tersebut
mampu bertahan dari setiap kritik tersebut maka, teori tersebut dapat dikatakan
diperkokoh atau diperkuat (Corroboration).
Kesimpulan
Karl Raimund
Popper telah berhasil menggerakkan ilmu pengetahuan ke arah yang lebih kompleks
dan lebih baik. Kehadirannya dalam dunia keilmuan modern, memberikan warna baru
bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pemikirannya telah
menghantarkan ilmu pengetahuan pada kondisi yang lebih terbuka. Dan pengaruhnya
pun masih kuat sampai dengan masa sekarang ini. Rasionalisme Kritis yang
merupakan aliran pemikiran yang dibangun atas dasar pemikiran Popper,
menganggap bahwa kritik adalah usaha terbaik untuk meningkatkan kualitas dari
suatu teori. Oleh karena itu pengetahuan ilmiah atau science haruslah
selalu terbuka dengan kritik. Hal lain
yang juga menarik dari Popper adalah, kritiknya terhadap induksi. Karl Popper
menolak prinsip generalisasi, yang dalam menurutnya tidaklah sesuai dengan kaidah
kebenaran logis. Untuk itu Popper menawarkan falsifikasi sebagai solusinya.
Dimana menurutnya melalui penyangkalan (Falsificate), maka suatu ilmu
dapat diketahui keilmiahannya. Dengan kata lain, teori dapat dikatakan ilmiah
hanya apabila memiliki kemungkinan untuk dapat disalahkan (Falsifiable).
Prinsip falsifiable inilah yang kemudian dijadikan sebagai garis batas
demarkasi, dalam pandangan Popper.
Daftar
Pustaka
Ahmadi, Asmoro, Filsafat Ilmu,
(Jogjakarta: Badan Penerbit IAIN Walisongo Press), 1995.
Chalmers A.F, Apa yang dimaksud
dengan Ilmu ?¸diterjemahkan oleh Redaksi Hasta Karya, (Jakarta: Hasta
Karya), 1983.
Chatton, Philip, dan Graham
Macdonald (ed.), Karl Popper, Critical appraisals, (New York:
Routledge), 2004
Komarudin, Falsifikasi
Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam keilmuan Islam, dalam
at-Taqaddum, (Jogjakarta: Vol. 6 No. 2), 2014.
Parvin, Phil, Karl Popper¸
(New York: Continuum), 2010.
Peursen, C.A. Van, Fakta, Nilai,
Peristiwa: Tentang hubungan Ilmu Pengetahuan dan Etika, diterjemahkan J.
Drost, (Jakarta: Gramedia), 1989.
Popper, Karl, Conjectures and
refutation, (New York: Basic Book),
1962
Popper,
Karl, The Open Society and Its Enemies 2:
Hegel and Marx. (London:
Routledge), 1945.
Popper, Karl, Unended Quest: An Intellectual
Autobiography. (London: Routledge) 1974.
Seri Driyarkara, Dosen STF, Sebuah
bunga Rampai Dari Sudut–Sudut Filsafat, (Jakarta :
Yayasan Kanisius), 1977.
Sumantri, Emma Dysmala, Kritik
Terhadap Paradigma Positivis, dalam jurnal Wawasan Hukum (Bandung: Vol. 28
No. 01), 2007.
Catatan Kaki :
[1]
Komarudin, "Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam
keilmuan Islam" dalam at-Taqaddum, (Jogjakarta: Vol. 6 No. 2) hal. 446
[2]
Emma Dysmala Sumantri, “Kritik Terhadap Paradigma Posistivis,” dalam Wawasan Hukum,
(Bandung: Vol. 28 No. 01) hal. 623
[4]
Philip Chatton, dan Graham Macdonald (ed.), ”Karl Popper, Critical
Appraisals", (New York: Routledge, 2004), 1
[5]
Phil Parvin, Karl Popper, (New York: Continuum, 2010), 3-4
[7]
Phil Parvin, Karl Popper, 7
[8]
Seri Driyarkara, Dosen STF, Sebuah bunga Rampai Dari Sudut – Sudut
Filsafat, (Jakarta : Yayasan Kanisius,
1977), 131
[9]
Komarudin, "Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam
keilmuan Islam", 449.
[10] C.A .Van Peursen, Fakta, Nilai, Peristiwa: Tentang hubungan Ilmu
Pengetahuan dan Etika, diterjemahkan J. Drost, (Jakarta: Gramedia, 1989),
80
[12]
Phil Parvin, Karl Popper, 45
[14]
Karl Popper, The Open Society and Its Enemies 2: Hegel
and Marx. (London: Routledge, 1945) 249.
[15]
A.F. Chalmers, Apa yang dimaksud dengan ilmu?, diterjemahkan oleh
Redaksi hasta karya, (Jakarta: Hasta Karya, 1983), 5.
[16]
Komarudin, "Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam
keilmuan Islam", 451.
[17]
Komarudin, "Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam
keilmuan Islam", 454
[18]
Phil Parvin, Karl Popper, 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar