Senin, 11 September 2017

Rasionalisme Kritis dan Kritik Terhadap Induksi; Kajian Terhadap Pemikiran Karl Popper



Rivaldi Dochmie*
 
Abstraksi
            Kreatifitas akal dan dorongan keingintahuan manusia, mendorong munculnya variasi dalam cara berfikir dan cara penyelesaian masalah manusia. Salah satu implikasi konkret yang terjadi adalah munculnya berbagai aliran pemikiran dalam lingkup ilmu pengetahuan. Aliran-aliran besar seperti Rasionalisme dan Empirisme, memicu terjadinya permasalahan dalam kerangka intelektual. Utamanya dalam permasalahan sumber pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, kehadiran Kritisisme, membuka lembaran baru bagi ilmu pengetahuan. Tak berhenti disitu, pada abad ke-20 permasalahan ilmu pengetahuan terus muncul. Namun pada masa ini, permasalahan yang paling banyak dibahas adalah mengenai standar garis batas ilmu dan non-ilmu atau yang lebih dikenal dengan sebutan Demarkasi.  Selain itu, pada masa ini, ilmu pengetahuan didominasi oleh paham positivis yang mengedepankan induksi, observasi dan verifikasi sebagai prinsip metodologi ilmu pengetahuan. Adalah Karl Raimund Popper yang kemudian, mempermasalahkan dan mengkritisi prinsip-prinsip yang telah dibangun oleh kaum posistivis ini. Popper bersama dengan aliran pemikran Rasionalisme Kritis, berusaha untuk memberikan prinsip-prinsip baru yang olehnya dianggap lebih benar dan lebih kuat. Prinsip-prinsip ini diantaranya adalah prinsip Falsifikasi yang dijadikan sebagai standar ilmu pengetahuan. Pada tulisan ini, penulis akan menjelaskan mengenai Karl Popper, bersama dengan aliran Rasionalisme Kritisnya, dan juga kritiknya terhadap induksi, beserta Falsifikasi yang ditawarkannya sebagai solusi bagi standar ilmu pengetahuan.
Kata Kunci : Karl Popper, Rasionalisme Kritis, Induksi, dan Falsifikasi


Pendahuluan
            Ilmu pengetahuan atau yang dalam Bahasa Inggris disebut dengan Science, telah mengalami berbagai perkembangan hingga saat ini. Perkembangan ini sifatnya berkelanjutan, dan akan terus terlaksana sampai waktu yang tidak ditentukan. Dorongan keingintahuan manusia-lah yang mendorong terjadinya perkembangan ini. Kreatifitas akal manusia, menyebabkan munculnya berbagai perubahan dan peningkatan dalam   lingkup ilmu pengetahuan. Salah satu bukti dari perkembangan ilmu pengetahuan adalah munculnya berbagai aliran-aliran pemikiran yang masing-masing dari mereka, menawarkan konsep dan metodologinya sendiri. Konsep dan metodologi yang ditawarkan oleh aliran-aliran tersebut, dibangun diatas fondasi paradigmanya masing-masing. Hal ini pun menjadi bukti, bahwa cara berfikir manusia bersifat variatif, dan kreatifitas akal akan terus berkembang dan memunculkan konsep-konsep baru yang akan menambah keberagaman dalam lingkup ilmu pengetahuan.
             Pada abad ke-20, perkembangan ilmu pengetahuan mencapai tahap, yang lebih kompleks. Pada masa ini sistem ilmu pengetahuan didominasi oleh para saintis berpaham Positivisme. Aliran positivisme  atau juga biasa disebut dengan Empirisme-Logis ini, berkembang dan menyebar secara cepat  di tengah para saintis. Mereka terdiri atas para ahli filsafat dan saintis yang menunjukkan kecenderungan sikap yang anti terhadap metafisik, anti terhadap spekulatif, realistis, materialistis, dan kritis, serta skeptis.[1] Aliran pemikiran ini pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte, melalui bukunya yakni Cours de Philosophie Phositive.[2] Sistem ilmu pengetahuan dari aliran pemikiran inilah yang kemudian akan dikritisi oleh Karl Popper.
            Dominasi aliran positivisme terus berlanjut sepanjang abad ke-20. Utamanya saat kehadiran Lingkar Wina (Vienna Circle) yang pada saat itu dikenal sebagai pusat intelektual, dengan para anggotanya yang merupakan saintis-saintis terkenal. Lingkar Wina, sangat berperan besar dalam menyuburkan paradigma positivistik dalam sistem Ilmu Pengetahuan. Salah satu masalah yang dibahas dalam lingkar ini adalah permasalahan Demarkasi, yaitu permasalahan garis pemisah ilmu pengetahuan. Dimana mereka mencoba merumuskan standar tetap untuk menentukan apakah suatu ilmu dapat dikategorikan sebagai Science atau Pseudo-Science, atau dengan kata lain, Meaningless atau Meaningfull.[3] Kesimpulan yang dikemukakan oleh para saintis di Lingkar Wina adalah bahwa verifikasi-lah yang menjadi standar dari Demarkasi ini. Untuk itu sesuatu dapat dikatakan Science ketika sesuatu tersebut dapat diverifikasi melalui observasi terhadap objek dan fakta yang ada. Hal inilah yang menjadi salah satu sasaran kritik Popper.  
            Kehadiran Karl Popper sebagai seorang filusuf sekaligus seorang saintis, yang kemudian mengkritisi Lingkar Wina, beserta dengan sistem positifistiknya, cukup kontroversial pada saat itu. Namun, dari kritiknya inilah kemudian ilmu pengetahuan dapat bertransformasi menjadi lebih kompleks dan kokoh pada masa sekarang ini. Karl Popper dengan aliran Rasionalisme-Kritis-nya, sangat besar pengaruhnya pada abad ke-20.[4] Teori falsifikasi yang dikemukakannya terbukti lebih dapat diterima dan lebih kuat dasarnya, ketimbang prinsip verifikasi induksi. Walau demikian, banyak prinsip positivistik masih tetap eksis dalam kerangka ilmu pengetahuan saat ini. Kemampuan dan kemenarikan pemikiran Karl Popper inilah yang akan penulis bahas pada tulisan ini.

   Biografi Singkat Popper
Karl Raimund Popper dilahirkan pada tahun 28 Juli 1902 di Wina. Ibunya   menanamkan   ketertarikannya   pada   musik   hingga   ia sempat ingin mengambil karir di bidang ini. Kemudian, kecintaanya terhadap musik menjadi kekuatan inspiratif dalam membangun pemikiran dan originalitas   interpretasi antara dogmatis dan pemikiran kritis. Popper dilahirkan ditengah keluarga Yahudi, sebelum kemudian mereka beralih agama ke Protestan dengan mengikuti denominasi Lutheranisme.[5]
Ayahnya Dr. Simond Siegmund Karl Popper bekerja sebagai pengacara professional. Dalam karya otobiografi-nya, Popper menjelaskan bahwa ayahnya lebih sebagai seorang cendekiawan, ketimbang sebagai seorang pengacara. Ayahnya memiliki ketertarikan yang besar kepada sastra, sejarah, dan juga filsafat. Dalam perpustakaan pribadi di dalam apartemennya terdapat sekitar 14.000 karya, termasuk karyanya Plato, Francis Bacon, Descartes, Spinoza< Nietzsche, John Locke, Kant, and John Stuart Mill.[6]
Pada usianya yang masih muda, yakni 16 tahun (1918), Popper memutuskan untuk melawan sistem yang diberlakukan oleh pemerintah pada masanya. Ini dikarenakan sikap pemerintah yang mempolitisasi para pemuda melalui sistem pendidikan yang dilaksanakan. Perlawanannya ini terus berlanjut. Salah satu bentuk perlawanannya adalah dengan memutuskan untuk keluar dari sekolahnya, meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan kedua orang tuanya.  Mulai dari saat itu, Popper memilih untuk mendaftar sebagai pendengar bebas Universitas Wina. Setelah 4 tahun menjadi pendengar bebas, pada tahun 1922 baru lah Popper resmi menjadi Mahasiswa di Universitas Wina. Sebelum itu, Popper sudah melewati pengujian Matrikulasi terlebih dahulu.
Pada masanya ini, Popper menjadi seorang simpatisan Marxis, dan bahkan dapat dikatakan sebagai seorang Marxis pula. Dia dan pemuda di masanya percaya, bahwa dengan Komunisme lah, konflik yang terjadi dapat diatasi.[7] Namun simpatinya ini tidak bertahan lama. Pada usianya yang tepat berumur 17 tahun ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan segala cara dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dorongan lain yang juga sangat kuat untuk membuatnya berubah menjadi seorang anti-Marxis, adalah karena terjadinya tragedi demonstrasi dan pemberontakan mahasiswa, yang berujung pada banyaknya korban. Utamanya dari pihak mahasiwa yang ditembak dan dibunuh oleh polisi ditempat kejadian.
                Adapun riwayat  hidup Popper, termasuk juga riwayat ilmu dan filsafatnya, di tandai dengan kebencian akan segala usaha untuk memutlakkan  sesuatu yang telah  menggores pribadinya, baik karena pengalamannya maupun akibat kekejian dari pengamukan  ideologi Hitler dan kaum Nazi yang mengakibatkan  terjadinya pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari teman- temannya yang terbunuh. Maka sejak saat itu pun perkembangan   macam-macam ideologi  dalam rangka  sejarah  filsafat Barat  mulai di  kecam Popper. Sebagaimana halnya  dalam ilmu alam segala teori yang bercorak dogmatis itu di tolaknya, demikian pun dalam filsafat sosial dan ilmu masyarakat. Terutama ajaran Plato, Hegel dan Marx  oleh Popper di curigai sebagai ideolgi yang menjadi musuh utama dari “open society“ yang di idam- idamkannya.[8]          
Dalam aliran-aliran filsafat, Popper termasuk dalam aliran Rasionalisme Kritis, bahkan merupakan perintis aliran tersebut. Meskipun berkenalan dengan beberapa tokoh dalam lingkaran Wina, namun ia tidak pernah menjadi anggota lingkaran Wina. Bahkan ia jengkel, kalau pandangan-pandangannya dikaitkan dengan positivisme logis. Adapun Tokoh yang cukup berpengaruh pada Popper yang   berkaitan dengan perkembangan pemikiran filsafatnya adalah Karl Buhler, seorang professor psikologi di Universitas Wina. Buhler memperkenalkan pada Popper tentang 3 tingkatan  fungsi   bahasa,   yaitu  fungsi  ekspresif,  fungsi  stimulatif,   dan  fungsi deskriptif. Dua fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia dan binatang sedangkan fungsi ketiga khas pada bahasa manusia dan bahkan tidak selalu hadir. Dan pada perkembangannya Popper menambahkan fungsi keempat yaitu fungsi argumentatif, yang dianggapnya terpenting karena merupakan basis pemikiran kritis. Selain itu, Popper juga banyak menarik perhatian melalui pemikiran-pemikirannya. Beberapa diantaranya yang paling menarik adalah, kritiknya terhadap induksi, teori politiknya yakni, The Open Society, dan teori falsifikasi. 
Karl Popper menginggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di London Selatan akibat penyakit jantung. Adapun beberapa karya tulisnya yang terbesar antara lain sebagai berikut; The Poverty of Historicism (1945), The Open Society and Its Enemies I dan II (1945), The Logic of Scientific Discovery (1959), Conjectures and Refutations: The Growt of Scientific Knowledge An Evolutionary Approach (1963), The Philosiphy of Karl Popper (1974), Unended Quest, dan The Self and Its Brain.[9]

Rasionalisme Kritis Popper
            Aliran pemikiran yang dipelopori dan dibangun oleh Popper, disebut olehnya dengan terma Rasionalisme Kritis. Dalam satu terme tersebut, terkandung dua terma yang berbeda, yakni Rasionalisme dan Kritis. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai Rasionalisme Kritis, akan lebih baik apabila diawali dengan membahas makna dari kedua terma tersebut.
Rasionalisme adalah paham atau aliran pemikiran yang menekankan bahwa ilmu pengetahuan selalu berkaitan erat dengan akal. Dalam arti sempit, rasionalisme dapat diartikan  sebagai paham yang menganggap dan menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh akal atau. Ini berarti bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan indera. Mengenai ilmu, rasionalisme bahwa mustahillah membentuk ilmu hanya berdasarkan fakta, data empiris, atau pengamatan terhadap fakta.[10] Aliran ini disebut-sebut dipelopori oleh Rene Descartes. Rene Descartes adalah seorang filusuf yang juga dikenal sebagai bapak filsafat modern. Salah satu yang paling terkenal dari Descartes adala pernyataannya, yakni Cogito Ergo Sum yang berarti "Aku berfikir, maka aku ada”. Pernyataan inilah yang kemudian menjadi dasar dari aliran Rasionalisme dalam membangun sistem berfikirnya.
Sedangkan terma kritis dalam Rasionalisme kritis dapat dimaknai sebagai kata sifat, yang mensifati kata Rasionalisme. Terma ini dapat juga dihubungkan dengan aliran pemikiran Kritisisme yang juga merupakan salah satu aliran besar disamping Rasionalisme dan Empirisme. Aliran pemikiran Kritisisme merupakan bentuk penyelesaian dari permasalahan yang terjadi antara Rasionalisme dan Empirisme. Aliran ini mengakui peranan akal dan keharusan empiris. Kemudian dicobanya untuk mengadakan sintesis. Walaupun semua   pengetahuan bersumber pada akal (Rasionalisme), tetapi ada pengertian timbal balik dari objek atau benda (empirisme) jadi metode berpikir ini, disebut  metode kritis.[11]
            Rasionalisme Kritis, pada dasarnya terambil dari tradisi, yang tergambarkan di Yunani, yakni kegiatan diskusi terbuka yang mendiskusikan teori-teori dengan maksud untuk menemukan kelemahan dari suatu teori, agar selanjutnya teori tersebut dapat dikembangkan dan ditingkatkan.[12] Menurut Popper dalam diskusi semacam itu, para pesertanya harus memiliki sikap yang siap untuk menyimak argumen kritis dan belajar dari pengalaman.[13] Dalam pengertian yang lebih fundamental namun sederhana, Rasionalisme Kritis dapat dimaknai sebagai sikap yang mengakui bahwa; ”I may be wrong, and you may be right, and by an effort we may get nearer to the truth”.[14]
            Sesuai dengan yang didefinisikan Popper, Rasionalisme Kritis bergerak untuk memastikan keterbukaan dalam memberi dan menerima kritikan, semata-mata dengan maksud agar teori yang dikritik tersebut dapat berkembang. Dengan kehadirannya ini, teori-teori ilmu pengetahuan menjadi lebih terbuka dengan kritik dan dapat lebih berkembang dan terhindar dari spekulasi. Selain itu dengan prinsip semacam ini pun, ilmu pengetahuan dapat terlepas dari dogma dan kestatisan, atau dengan kata lain menjadi dinamis dan dapat mengalami transformasi.

Kritik Terhadap Induksi
            Salah satu permasalahan yang sangat menarik bagi Popper adalah masalah induksi. Karl Popper dengan jelas menolak induksi untuk dijadikan prinsip dalam verifikasi kebenaran ilmu pengetahuan. Prinsip generalisasi yang terkandung dalam induksi, adalah salah satu yang paling bermasalah, menurut Popper. Menurutnya, sangat tidak benar untuk memberikan predikasi yang sama kepada semua A, setelah mengobservasi beberapa atau bahkan sebagian besar A saja.[15]
            Dalam pandangan Popper suatu teori tidak dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui verifikasi seperti anggapan positivis, melainkan karena dapat diuji, melalui berbagai percobaan sistematis untuk menyalahkannya. Kemudian apabila suatu hipotesa atau teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut corroboration.[16] Dalam keseluruhan teori Popper tidak ada yang disebut sebagai kebenaran final atau kebenaran mutlak, yang ada hanyalah corroboration, yang bermakna diperkuat keilmiahannya.

Falsifikasi Sebagai Solusi
            Dalam upayanya mengkritisi induksi, Popper tidak sekedar melakukan penyalahan, melainkan juga memberikan solusi. Popper menghadirkan prinsip atau teori falsifikasi untuk dijadikan sebagai solusi dari permasalahan induksi. Prinsip falsifikasi ini berlaku sebagai sistem pembuktian salah dari suatu teori atau hipotesa. Berbeda dengan verifikasi yang mencoba membuktikan benarnya suatu teori atau hipotesa. Menurut Popper sesuatu dapat dikatakan ilmiah, apabila sesuatu tersebut secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyatakan salahnya (Falsifiable).[17]
            Prinsip falsifikasi inilah kemudian yang dijadikan oleh Popper sebagai standar dari demarkasi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, suatu teori dapat dikatakan sebagai Science apabila dapat dikritisi, atau masih berkemungkinan ditemukan salahnya. Sedangkan teori yang tidak dapat dikritisi atau tidak berkemungkinan ditemukan salahnya, maka teori tersebut dikategorikan sebagai Pseudo-Science.[18] Contoh cara kerja falsifikasi adalah ketika suatu teori diajukan, maka akan ada pengujian kesalahan, ketika teori tersebut dapat dikritisi oleh para saintis lain, maka teori tersebut dikatakan ilmiah. Kemudian apabila teori tersebut mampu bertahan dari setiap kritik tersebut maka, teori tersebut dapat dikatakan diperkokoh atau diperkuat (Corroboration).
Kesimpulan
            Karl Raimund Popper telah berhasil menggerakkan ilmu pengetahuan ke arah yang lebih kompleks dan lebih baik. Kehadirannya dalam dunia keilmuan modern, memberikan warna baru bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pemikirannya telah menghantarkan ilmu pengetahuan pada kondisi yang lebih terbuka. Dan pengaruhnya pun masih kuat sampai dengan masa sekarang ini. Rasionalisme Kritis yang merupakan aliran pemikiran yang dibangun atas dasar pemikiran Popper, menganggap bahwa kritik adalah usaha terbaik untuk meningkatkan kualitas dari suatu teori. Oleh karena itu pengetahuan ilmiah atau science haruslah selalu terbuka dengan kritik.     Hal lain yang juga menarik dari Popper adalah, kritiknya terhadap induksi. Karl Popper menolak prinsip generalisasi, yang dalam menurutnya tidaklah sesuai dengan kaidah kebenaran logis. Untuk itu Popper menawarkan falsifikasi sebagai solusinya. Dimana menurutnya melalui penyangkalan (Falsificate), maka suatu ilmu dapat diketahui keilmiahannya. Dengan kata lain, teori dapat dikatakan ilmiah hanya apabila memiliki kemungkinan untuk dapat disalahkan (Falsifiable). Prinsip falsifiable inilah yang kemudian dijadikan sebagai garis batas demarkasi, dalam pandangan Popper.


Daftar Pustaka
            Ahmadi, Asmoro, Filsafat Ilmu, (Jogjakarta: Badan Penerbit IAIN Walisongo Press), 1995.
            Chalmers A.F, Apa yang dimaksud dengan Ilmu ?¸diterjemahkan oleh Redaksi Hasta Karya, (Jakarta: Hasta Karya), 1983.
            Chatton, Philip, dan Graham Macdonald (ed.), Karl Popper, Critical appraisals, (New York: Routledge), 2004
            Komarudin, Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam keilmuan Islam, dalam at-Taqaddum, (Jogjakarta: Vol. 6 No. 2), 2014.
            Parvin, Phil, Karl Popper¸ (New York: Continuum), 2010.
            Peursen, C.A. Van, Fakta, Nilai, Peristiwa: Tentang hubungan Ilmu Pengetahuan dan Etika, diterjemahkan J. Drost, (Jakarta: Gramedia), 1989.
            Popper, Karl, Conjectures and refutation,  (New York: Basic Book), 1962
            Popper, Karl, The Open Society and Its Enemies 2: Hegel and Marx. (London: Routledge), 1945.
            Popper, Karl, Unended Quest: An Intellectual Autobiography. (London: Routledge) 1974.
            Seri Driyarkara, Dosen STF, Sebuah bunga Rampai Dari Sudut–Sudut Filsafat,  (Jakarta : Yayasan Kanisius), 1977.
            Sumantri, Emma Dysmala, Kritik Terhadap Paradigma Positivis, dalam jurnal Wawasan Hukum (Bandung: Vol. 28 No. 01), 2007.

Catatan Kaki :


* Mahasiswa Strata 1, Fakultas Ushuluddin, Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam, STFI SADRA.
[1] Komarudin, "Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam keilmuan Islam" dalam at-Taqaddum, (Jogjakarta: Vol. 6 No. 2) hal. 446
[2] Emma Dysmala Sumantri, Kritik Terhadap Paradigma Posistivis, dalam Wawasan Hukum, (Bandung: Vol. 28 No. 01) hal. 623
[3] Karl Popper, Conjectures and refutation,  (New York: Basic Book, 1962), 151
[4] Philip Chatton, dan Graham Macdonald (ed.), ”Karl Popper, Critical Appraisals", (New York: Routledge, 2004), 1
[5] Phil Parvin, Karl Popper, (New York: Continuum, 2010),  3-4
[6] Karl Popper, Unended Quest: An Intellectual Autobiography. (London: Routledge, 1974), 6
[7] Phil Parvin, Karl Popper, 7
[8] Seri Driyarkara, Dosen STF, Sebuah bunga Rampai Dari Sudut – Sudut
Filsafat,  (Jakarta : Yayasan Kanisius, 1977), 131
[9] Komarudin, "Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam keilmuan Islam", 449.
[10] C.A .Van Peursen, Fakta, Nilai, Peristiwa: Tentang hubungan Ilmu Pengetahuan dan Etika, diterjemahkan J. Drost, (Jakarta: Gramedia, 1989), 80

[11] Asmoro Ahmadi , Filsafat Umum, (Jogjakarta: Badan Penerbit IAIN Walisongo Press, 1995), 110
[12] Phil Parvin, Karl Popper, 45
[13] Karl Popper, Conjectures and refutation,  67
[14] Karl Popper, The Open Society and Its Enemies 2: Hegel and Marx. (London: Routledge, 1945) 249.

[15] A.F. Chalmers, Apa yang dimaksud dengan ilmu?, diterjemahkan oleh Redaksi hasta karya, (Jakarta: Hasta Karya, 1983), 5.
[16] Komarudin, "Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam keilmuan Islam", 451.
[17] Komarudin, "Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinannya diterapkan dalam keilmuan Islam", 454
[18] Phil Parvin, Karl Popper, 49

Tidak ada komentar:

Posting Komentar