Senin, 03 Oktober 2016

SEKILAS PERLAWANAN TERHADAP PSIKOLOGI RADIKAL BARAT OLEH PSIKOLOGI TASAWUF.



            Jiwa merupakan persoalan yang cukup menarik untuk di kaji, bahkan didalami di barat, sehingga melahirkan para tokoh-tokoh terkemuka diantaranya; Sigmund freud, Hume, jhon locke, Watson, kohler, Jung, Kantdan masih banyak lagi. Kajian psikologi yang di adakan di dunia barat mangambil pondasi akal sebagai satu-satunya alat ukur mutlak. Pendewaan akal bagi banyak kalangan tokoh barat ini menjadikan sudut pandang yang bersifat manafikan potensi-potensi lain dalam diri manusia. Salah satu yang menjadi pandangan barat terhadap manusia adalah bahwa manusia tidak lebih dari sekedar tubuh dan pikiran yang berkembang dari sisitem saraf tubuh. Hal ini jelas menunjukan perspektif barat yang sangat menolak potensi lain dalam diri manusia selain akal.

            Beda halnya dengan psikologi tasawuf yang mengakui adanya potensi lain dalam perkembangan jiwa. Hati dan intuisi menjadi sumber dari pengetahuan jiwa itu sendiri, namun pemaknaan hati yang biasa dimaknai oleh kaum orientalis khusunya psikologi barat adalah hati yang bersifat materi yang tepatnya terletak di sebelah kiri dada bagian atas (Jantung). Imam Al-Ghazali menjelaskannya secara rinci dalam kitab ihya ulumiddin bahwa hati yang dimaksud oleh kaum sufi adalah hati yang bersifat rohani, hati inilah yang akan mengantarkan manusia pada pemahaman terhadap dirinya sendiri. Kesalah pahaman psikologi barat dalam memaknai hati melahirkan perdebatan yang kontroversial, terlebih lagi keyakinannya atas pendewaan akal membuat mereka menafikan potensi-potensi lain. Sekarang kita mampu mengetahui latar perbedaan pemahaman mereka dalam mempersepsi jiwa yaitu antara pendahulukan hati dan akal.

            Diceritakan dalam sebuah cerita ketika imam al-ghazali hendak ingin mengetahui dirinya, ia harus melepaskan jabatannya sebagai rektor dan, melakukan sebuah perjalanan pemahaman diri. Dalam perjalanan upaya pencariannya terharhadap dirinya sendiri, ia menyikap berbagai hal, terutama permasalahan alat ukur penentu kebenaran. Semula ia menggunakan konsep kebenaran empirisme namun ia menemukan berbagai macam kekurangan, sehingga ia beralih kepada rasionalisme dalam upaya mencari kebenaran. Dalam perjalanan terakhirnya ia menemukan kelemahan-kelemahan pula dalam system berfikir rasional, sehingga ia beralih kepada system tasawuf dalam upaya kelanjutannnya.Kalangan arif menggunakan akal sebagai salah satu alat untuk mengafirmasi kebenaran, sekaligus mereka menggunakan hati sebagai sebagai penguji kebenaran yang diafirmasi oleh akal. Ibn sina sebagai orang yang cenderung menggunakan akal dalam upaya untuk melakukan pembuktian logis tidak menyepelekan factor intuisi. Tak kalah pula shadrul muta’allihin syirazi atau lebih akrab biasa di panggil “Mulla Sadra”, yang mana mampu mengharmonisasikan dua alat ukur yang dikatakan bertolak belakang itu. ia mengatakan dalam kitab magnum opusnya  Al-Hikmah Al-Mutaaliyah;
"Berkat jerih pembinaan diri yang berkepanjangan dan olah jiwa, hatiku menjadi    terang benderang. Cahaya malakut memancar dahsyat menerpanya…Karena itu, aku menemukan rahasia-rahasia yang sebelumnya tidak pernah kuketahui. Berbagai rumusan tidakbegitu tampak dengan Burhan kini tersibak jelas sekali di hadapanku. Bahkan segala apa yang dulu kuketahui dengan Burhan sekarang telah kutatap dengan kesaksian yang nyata”
            
    Dalam penjelasan ini Mulla Sadra menjelaskan bahwa berbagai hal yang ia usahakan dalam menggunakan akal kini tampak jelas dan terang ketika mengalami kasyf (penyingkapan). Jalaludin rumi seorang penulis puisi yang sangat berpengaruh di kalangan islam bahkan di dunia barat sekalipun mengatakan bahwasannya; seseorang yang mengandalkan akal sebagai alat ukur kebenarannya bagaikan sebuah pandangan mata manusia yang melihat laut dari langit ke bawah untuk mencari mutiara, sedangkan seorang yang mengandalakan hati bagaikan seorang penyelam yang mencari langsung mutiara tersebut di dalam laut. Sangat jelas maksud dari penjelasan-penjelasan ini yaitu untuk menentukan alat ukur benar perlu di iringi dengan potensi hati, karena terbatasnya  akal dalam menyingkap kebenaran tertentu. Meski demikian terbatasnya akal tidak bisa kita jadikan dalil untuk tidak selalu berfikir rasional, karena bagaimanapun ungkapan-ungkapan para filosof dan sufi tadi bermaksud untuk memandang hati dalam menguji kebenaran.

       Lain halnya para orientalis radikal yang mempersepsi diri manusia dengan akal saja,Sehingga muncul beberapa aliran psikologi yang memandang rendah martabat manusia seperti halnya Sigmund freud. Ia menggunakan konsep id, ego dan super ego sebagai ukuran kualitas diri yang mana system teori berfikirnya hanya dilandasi oleh akal. Pernyataanya tak dapat di pungkiri lagi dalam bukunya civilization and its discontents ia menulis:
“Manusia bukanlah makhluk yang lemah lembut dan bersahabat, yang ingin menyayangi, dan hanya mempertahankan diri bila diserang … tetapi sejumlah keinginan yang kuat untuk bertindak agresif harus diakui sebagai watak manusia yang asli. Akibatnya ialah tetangganya buat mereka bukan hanya calon pembantu atau obyek seksual, tetapi juga godaan untuk memenuhi hasrat agresifnya … untuk dirampas hartanya, untuk dihina, untuk disakiti, disiksa, dan dibunuh … siapa saja yang mengingat kekejaman perpindahan bangsa-bangsa pada zaman dahulu, penyerbuan bangsa Hun atau bangsa Mongol di bawah Jenghiz Khan dan Timur Leng, atau penyerangan Jerusalem oleh tentara salib yang salih, atau bahkan kengerian pada perang dunia yang lalu, ia harus menundukkan kepala dengan rendah hati di hadapan kebenaran pandangan tentang manusia seperti ini.”
           
       Pandangan seperti ini tidak hanya di pegang teguh olehnya sendiri melainkan di temani oleh Toyn Bee, dalam perspektif sejarah ia mengatakan “there is a persistent vein of violence and cruelity in human nature.” Tidak ada henti-hentinya ada getaran kekerasan dan kekejaman pada tabiat manusia. Menyusul pula para penjujung tinggi teori zoologis diantaranya; Robert Andrey, Konkard Lorenz, termasuk juga Charles Darwin. Andrey mengatakan tentang manusia dalam African Genesis, “adalah binatang buas yang naluri alamiahnya ialah membunuh dengan senjata.” Dari tokoh-tokoh radikalis tersebut kita mendapakan kesimpulan yang cukup jelas atas pandangan mereka terhadap diri manusia, meski masih banyak lagi pandangan yang mirip dengan pandangan tersebut, namun itu sudah cukup mewakili pandangan radikalis-radikalis barat.

Kesedihan kita atas persepesi pandangan ini akan terobati oleh pandangan kaum sufi yang mana memberikan penghormatan pada status manusia di muka bumi. Status dalam pemahaman ini yaitu derajat dan kewajiban-kewajiban mulia manusia di alam semesta. Jalaludin rumi pernah mengatakan dalam puisi indahnya yang bermaksud “mengapa manusia harus merayap dimuka bumi dalam menjalankan hidupnya padahal ia mempunyai sayap”. Yang dimaksud Rumi ini adalah mengapa manusia malah membatasi dirinya dalam sebuah ketidak terbatasan yang dianugrahkan oleh tuhan. Begitupun Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang berjudul Manusia Dan Agama; manusia adalah makhluk yang menjujung tinggi nilai-nilai idealistis yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, melainkan menjunjung tinggi nilai kepentingan dan kesejahteraan makhluk lain. Konsep-konsep yang disediakan oleh kaum sufi jauh lebih bernilai dibandingkan dengan kaum radikalis barat yang hanya ingin menundukan harga diri manusia di bawah kaki alam. Pemahaman tasawuf atas manusia melahirkan kegairahan positive dalam mempersepsi alam semesta, seakan selalu ada harapan indah di setiap langkah manusia dalam menjalani kehidupan yang dikejar oleh kematiannya.

Hubungan makhluk dengan tuhan dan hubungan makhluk dengan makhluk menjadi focus concern tasawuf dalam membentuk nilai-nilai kehidupan, namun Sering kali terjadi kesalah pahaman manusia atas tasawuf. Hal ini menimbulkan berbagai macam pandangan atas tasawuf, sehingga perlu diketahuinya antara tasawuf negative dan tasawuf positive. Meski keduanya dikatakan sebagai tasawuf, namun memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Tasawuf negative yang dimaksud disini ialah sama halnya dengan tasawuf yang banyak dipersepsi oleh kaum orientalis. Dalam intinya tasawuf jenis ini sangat tertutup dengan masyarakat dan mengedepankan kesejahteraan individu saja, bahkan pada keadaan tertentu dapat meninggalkan syariat, dengan dalil sudah tidak membutuhkan perantara lagi untuk bertemu dengan sang haq (Allah). Tentu tasawuf ini ditentang oleh ulama dan agama islam bahkan oleh para filosof muslim dikatakan; ketidak jelasan yang mereka lakukan karena tidak diiringi dengan kontrol aturan agama dan akal. Sebaliknya dalam tasawuf positive kita diharuskan memberi kontribusi terbaik untuk masyarakat dan terjun dalam segala urusan masyarakat. Lalu apa yang menjadi inti dalam tasawuf positive jika masih harus terjun pada urusan duniabukannya itu malah membuat kita bersifat keduniawian ?

Sehubungan dengan hal ini, dilukiskan dalam sebuah cerita seorang nelayan sufi yang hidupnya amat sederhana, sehingga ia harus makan kepala ikan setiap hari yang perut ikannya selalu ia berikan pada tetangganya. Suatu ketika sufi ini meminta muridnya untuk pergi ke daerah mursia, yaitu sebuah kota di spanyol untuk memintakan sebuah nasehat kepada gurunya disana (syaikh Al-Akbar). “tolong kamu mampir ke kediaman guruku di mursia dan mintakan nasehatnya untukku” setelah sang murid tiba didepan gerbang rumah syaikh Al-Akbar,ia bingung dan terkejut melihat kenyataan bahwa rumah gurunya yang ia anggap sebelumnya sederhana bahkan lebih sederhana dibanding gurunya, malah megah dan mewah seraya dipenuhi dengan pelayan-pelayan layaknya kerajaan. Ketika ia hendak meminta nasehat syaikh Al-Akbar, ia lebih-lebih terkejut dengan pernyataannya “bilang sama dia jangan terlalu memikirkan dunia” kita yang pada umumnya akan mempersepsi bahwa seharusnya syaikh Al-Akbar itulah yang harus tidak terlalu memikirkan dunia karena keduniawiannya jelas-jelas tampak. Setibanya di kediaman sang guru ia menyampaikan pesan gurunya sang guru, kemudian gurunya berkata betul kata syaikh Al-Akbar, menjalani hidup tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin dan meninggalkan dunia tapi tidak terikatnya kita terhadap dunia. Sufi itu menyatakan boleh jadi saya hidup miskin dan selalu makan kepala ikan namun terkadang saya mimikirkan nikmatnya perut ikan yang saya berikan pada tetangga. Syaikh Al-Akbar ini adalah Ibnu Arabi sang sufi terkemuka dan berpengaruh di dunia.

Dari cerita ini kita mendapatkan kesimpulan bahwasannya belum tentu orang yang hidupnya miskin sudah terjamin menjalani kehidupan sufistik sebaliknya boleh jadi orang yang hidupnya kaya malah sibuk hatinya memikirkan Allah sebagai pemberi kekayaan dan menyubangkan kekayaannya pada orang lain. Menjadi sufi dikatakan oleh para sufi yaitu tanganmu disibukkan dalam dunia dan membiarkan hatimu disibukkan oleh mengingat Allah. Tentunya pandangan tasawuf seperti inilah yang akan didambakan oleh masyarakat di dunia, dan akan menjadi sebuah penyebab atas kesejahteraan masyarakat umum.

 Perlawanan psikologi tasawuf atas barat ini bisa menjadi sebuah pencerahan bagi masyarakat umum sehingga mampu mengetahui realitas diri, sebaliknya landasaan teori psikologi-psikologi barat sangat meruntuhkan dan menutup pintu kita dalam memahami realitas diri kita. Alat ukur para radikalis barat tadi jelas akan menjadi dasar dari penyebab masalah yang signifikan, karena hal itu sangat menentukan premis-premis yang akan mereka simpulkan. Kiranya cukup sedikit jelas terpaparkan bahwa untuk memahami realitas diri kita tidak bisa di ukur dengan akal saja melainkan hati juga sebagai penguji atas afirmasi akal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar