Jiwa merupakan persoalan yang cukup
menarik untuk di kaji, bahkan didalami di barat, sehingga melahirkan para
tokoh-tokoh terkemuka diantaranya; Sigmund freud, Hume, jhon locke, Watson,
kohler, Jung, Kantdan masih banyak lagi. Kajian psikologi yang di adakan di
dunia barat mangambil pondasi akal sebagai satu-satunya alat ukur mutlak.
Pendewaan akal bagi banyak kalangan tokoh barat ini menjadikan sudut pandang
yang bersifat manafikan potensi-potensi lain dalam diri manusia. Salah satu
yang menjadi pandangan barat terhadap manusia adalah bahwa manusia tidak lebih
dari sekedar tubuh dan pikiran yang berkembang dari sisitem saraf tubuh. Hal
ini jelas menunjukan perspektif barat yang sangat menolak potensi lain dalam
diri manusia selain akal.
Beda halnya dengan psikologi tasawuf
yang mengakui adanya potensi lain dalam perkembangan jiwa. Hati dan intuisi
menjadi sumber dari pengetahuan jiwa itu sendiri, namun pemaknaan hati yang
biasa dimaknai oleh kaum orientalis khusunya psikologi barat adalah hati yang
bersifat materi yang tepatnya terletak di sebelah kiri dada bagian atas
(Jantung). Imam Al-Ghazali menjelaskannya secara rinci dalam kitab ihya
ulumiddin bahwa hati yang dimaksud oleh kaum sufi adalah hati yang bersifat
rohani, hati inilah yang akan mengantarkan manusia pada pemahaman terhadap
dirinya sendiri. Kesalah pahaman psikologi barat dalam memaknai hati melahirkan
perdebatan yang kontroversial, terlebih lagi keyakinannya atas pendewaan akal
membuat mereka menafikan potensi-potensi lain. Sekarang kita mampu mengetahui
latar perbedaan pemahaman mereka dalam mempersepsi jiwa yaitu antara pendahulukan
hati dan akal.
Diceritakan
dalam sebuah cerita ketika imam al-ghazali hendak ingin mengetahui dirinya, ia
harus melepaskan jabatannya sebagai rektor dan, melakukan sebuah perjalanan
pemahaman diri. Dalam perjalanan upaya pencariannya terharhadap dirinya
sendiri, ia menyikap berbagai hal, terutama permasalahan alat ukur penentu
kebenaran. Semula ia menggunakan konsep kebenaran empirisme namun ia menemukan
berbagai macam kekurangan, sehingga ia beralih kepada rasionalisme dalam upaya
mencari kebenaran. Dalam perjalanan terakhirnya ia menemukan
kelemahan-kelemahan pula dalam system berfikir rasional, sehingga ia beralih
kepada system tasawuf dalam upaya kelanjutannnya.Kalangan arif menggunakan akal
sebagai salah satu alat untuk mengafirmasi kebenaran, sekaligus mereka
menggunakan hati sebagai sebagai penguji kebenaran yang diafirmasi oleh akal.
Ibn sina sebagai orang yang cenderung menggunakan akal dalam upaya untuk
melakukan pembuktian logis tidak menyepelekan factor intuisi. Tak kalah pula
shadrul muta’allihin syirazi atau lebih akrab biasa di panggil “Mulla Sadra”,
yang mana mampu mengharmonisasikan dua alat ukur yang dikatakan bertolak
belakang itu. ia mengatakan dalam kitab magnum opusnya Al-Hikmah Al-Mutaaliyah;
"Berkat jerih pembinaan diri yang berkepanjangan dan
olah jiwa, hatiku menjadi terang
benderang. Cahaya malakut memancar dahsyat menerpanya…Karena itu, aku menemukan
rahasia-rahasia yang sebelumnya tidak pernah kuketahui. Berbagai rumusan tidakbegitu
tampak dengan Burhan kini tersibak jelas sekali di hadapanku. Bahkan segala apa
yang dulu kuketahui dengan Burhan sekarang telah kutatap dengan
kesaksian yang nyata”
Dalam penjelasan
ini Mulla Sadra menjelaskan bahwa berbagai hal yang ia usahakan dalam
menggunakan akal kini tampak jelas dan terang ketika mengalami kasyf
(penyingkapan). Jalaludin rumi seorang penulis puisi yang sangat berpengaruh di
kalangan islam bahkan di dunia barat sekalipun mengatakan bahwasannya;
seseorang yang mengandalkan akal sebagai alat ukur kebenarannya bagaikan sebuah
pandangan mata manusia yang melihat laut dari langit ke bawah untuk mencari
mutiara, sedangkan seorang yang mengandalakan hati bagaikan seorang penyelam
yang mencari langsung mutiara tersebut di dalam laut. Sangat jelas maksud dari
penjelasan-penjelasan ini yaitu untuk menentukan alat ukur benar perlu di
iringi dengan potensi hati, karena terbatasnya
akal dalam menyingkap kebenaran tertentu. Meski demikian terbatasnya
akal tidak bisa kita jadikan dalil untuk tidak selalu berfikir rasional, karena
bagaimanapun ungkapan-ungkapan para filosof dan sufi tadi bermaksud untuk
memandang hati dalam menguji kebenaran.
Lain halnya para
orientalis radikal yang mempersepsi diri manusia dengan akal saja,Sehingga
muncul beberapa aliran psikologi yang memandang rendah martabat manusia seperti
halnya Sigmund freud. Ia menggunakan konsep id, ego dan super ego sebagai
ukuran kualitas diri yang mana system teori berfikirnya hanya dilandasi oleh
akal. Pernyataanya tak dapat di pungkiri lagi dalam bukunya civilization and its
discontents ia menulis:
“Manusia bukanlah makhluk yang lemah
lembut dan bersahabat, yang ingin menyayangi, dan hanya mempertahankan diri
bila diserang … tetapi sejumlah keinginan yang kuat untuk bertindak agresif
harus diakui sebagai watak manusia yang asli. Akibatnya ialah tetangganya buat
mereka bukan hanya calon pembantu atau obyek seksual, tetapi juga godaan untuk
memenuhi hasrat agresifnya … untuk dirampas hartanya, untuk dihina, untuk
disakiti, disiksa, dan dibunuh … siapa saja yang mengingat kekejaman
perpindahan bangsa-bangsa pada zaman dahulu, penyerbuan bangsa Hun atau bangsa
Mongol di bawah Jenghiz Khan dan Timur Leng, atau penyerangan Jerusalem oleh
tentara salib yang salih, atau bahkan kengerian pada perang dunia yang lalu, ia
harus menundukkan kepala dengan rendah hati di hadapan kebenaran pandangan
tentang manusia seperti ini.”
Pandangan seperti ini tidak hanya di pegang teguh olehnya sendiri
melainkan di temani oleh Toyn Bee, dalam perspektif sejarah ia mengatakan “there
is a persistent vein of violence and cruelity in human nature.” Tidak ada henti-hentinya
ada getaran kekerasan dan kekejaman pada tabiat manusia. Menyusul pula para
penjujung tinggi teori zoologis diantaranya; Robert Andrey, Konkard Lorenz,
termasuk juga Charles Darwin. Andrey mengatakan tentang manusia dalam African
Genesis, “adalah binatang buas yang naluri alamiahnya ialah membunuh dengan
senjata.” Dari tokoh-tokoh radikalis tersebut kita mendapakan kesimpulan yang
cukup jelas atas pandangan mereka terhadap diri manusia, meski masih banyak
lagi pandangan yang mirip dengan pandangan tersebut, namun itu sudah cukup
mewakili pandangan radikalis-radikalis barat.
Kesedihan kita atas persepesi pandangan ini akan terobati oleh
pandangan kaum sufi yang mana memberikan penghormatan pada status manusia di
muka bumi. Status dalam pemahaman ini yaitu derajat dan kewajiban-kewajiban
mulia manusia di alam semesta. Jalaludin rumi pernah mengatakan dalam puisi
indahnya yang bermaksud “mengapa manusia harus merayap dimuka bumi dalam
menjalankan hidupnya padahal ia mempunyai sayap”. Yang dimaksud Rumi ini adalah
mengapa manusia malah membatasi dirinya dalam sebuah ketidak terbatasan yang
dianugrahkan oleh tuhan. Begitupun Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang
berjudul Manusia Dan Agama; manusia adalah makhluk yang menjujung tinggi
nilai-nilai idealistis yang tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, melainkan
menjunjung tinggi nilai kepentingan dan kesejahteraan makhluk lain. Konsep-konsep
yang disediakan oleh kaum sufi jauh lebih bernilai dibandingkan dengan kaum
radikalis barat yang hanya ingin menundukan harga diri manusia di bawah kaki
alam. Pemahaman tasawuf atas manusia melahirkan kegairahan positive dalam
mempersepsi alam semesta, seakan selalu ada harapan indah di setiap langkah
manusia dalam menjalani kehidupan yang dikejar oleh kematiannya.
Hubungan makhluk dengan tuhan dan hubungan makhluk dengan makhluk
menjadi focus concern tasawuf dalam membentuk nilai-nilai kehidupan, namun
Sering kali terjadi kesalah pahaman manusia atas tasawuf. Hal ini menimbulkan
berbagai macam pandangan atas tasawuf, sehingga perlu diketahuinya antara tasawuf
negative dan tasawuf positive. Meski keduanya dikatakan sebagai tasawuf, namun
memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Tasawuf negative yang dimaksud
disini ialah sama halnya dengan tasawuf yang banyak dipersepsi oleh kaum
orientalis. Dalam intinya tasawuf jenis ini sangat tertutup dengan masyarakat
dan mengedepankan kesejahteraan individu saja, bahkan pada keadaan tertentu
dapat meninggalkan syariat, dengan dalil sudah tidak membutuhkan perantara lagi
untuk bertemu dengan sang haq (Allah). Tentu tasawuf ini ditentang oleh ulama
dan agama islam bahkan oleh para filosof muslim dikatakan; ketidak jelasan yang
mereka lakukan karena tidak diiringi dengan kontrol aturan agama dan akal. Sebaliknya
dalam tasawuf positive kita diharuskan memberi kontribusi terbaik untuk
masyarakat dan terjun dalam segala urusan masyarakat. Lalu apa yang menjadi
inti dalam tasawuf positive jika masih harus terjun pada urusan duniabukannya
itu malah membuat kita bersifat keduniawian ?
Sehubungan dengan hal ini, dilukiskan dalam sebuah cerita seorang
nelayan sufi yang hidupnya amat sederhana, sehingga ia harus makan kepala ikan
setiap hari yang perut ikannya selalu ia berikan pada tetangganya. Suatu ketika
sufi ini meminta muridnya untuk pergi ke daerah mursia, yaitu sebuah kota di
spanyol untuk memintakan sebuah nasehat kepada gurunya disana (syaikh
Al-Akbar). “tolong kamu mampir ke kediaman guruku di mursia dan mintakan
nasehatnya untukku” setelah sang murid tiba didepan gerbang rumah syaikh
Al-Akbar,ia bingung dan terkejut melihat kenyataan bahwa rumah gurunya yang ia
anggap sebelumnya sederhana bahkan lebih sederhana dibanding gurunya, malah
megah dan mewah seraya dipenuhi dengan pelayan-pelayan layaknya kerajaan.
Ketika ia hendak meminta nasehat syaikh Al-Akbar, ia lebih-lebih terkejut dengan
pernyataannya “bilang sama dia jangan terlalu memikirkan dunia” kita yang pada
umumnya akan mempersepsi bahwa seharusnya syaikh Al-Akbar itulah yang harus
tidak terlalu memikirkan dunia karena keduniawiannya jelas-jelas tampak.
Setibanya di kediaman sang guru ia menyampaikan pesan gurunya sang guru,
kemudian gurunya berkata betul kata syaikh Al-Akbar, menjalani hidup tasawuf
itu bukan berarti harus hidup miskin dan meninggalkan dunia tapi tidak
terikatnya kita terhadap dunia. Sufi itu menyatakan boleh jadi saya hidup
miskin dan selalu makan kepala ikan namun terkadang saya mimikirkan nikmatnya
perut ikan yang saya berikan pada tetangga. Syaikh Al-Akbar ini adalah Ibnu
Arabi sang sufi terkemuka dan berpengaruh di dunia.
Dari cerita ini kita mendapatkan kesimpulan bahwasannya belum tentu
orang yang hidupnya miskin sudah terjamin menjalani kehidupan sufistik
sebaliknya boleh jadi orang yang hidupnya kaya malah sibuk hatinya memikirkan
Allah sebagai pemberi kekayaan dan menyubangkan kekayaannya pada orang lain.
Menjadi sufi dikatakan oleh para sufi yaitu tanganmu disibukkan dalam dunia dan
membiarkan hatimu disibukkan oleh mengingat Allah. Tentunya pandangan tasawuf
seperti inilah yang akan didambakan oleh masyarakat di dunia, dan akan menjadi
sebuah penyebab atas kesejahteraan masyarakat umum.
Perlawanan psikologi tasawuf
atas barat ini bisa menjadi sebuah pencerahan bagi masyarakat umum sehingga
mampu mengetahui realitas diri, sebaliknya landasaan teori psikologi-psikologi
barat sangat meruntuhkan dan menutup pintu kita dalam memahami realitas diri
kita. Alat ukur para radikalis barat tadi jelas akan menjadi dasar dari
penyebab masalah yang signifikan, karena hal itu sangat menentukan
premis-premis yang akan mereka simpulkan. Kiranya cukup sedikit jelas
terpaparkan bahwa untuk memahami realitas diri kita tidak bisa di ukur dengan
akal saja melainkan hati juga sebagai penguji atas afirmasi akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar