Harus
diakui, bahwa adanya keberagaman masyarakat, memiliki potensi terjadinya
konflik dan ancaman terhadap integritas sosial. sebagaimana konflik yang
terjadi di maluku (1999-2001), Ketapang (1998),
Poso (1999-2002) dan lainnya. Kehadiran era reformasi yang semula diharapkan
untuk mempersempit sekat-sekat perbedaan, justru membuat beberapa oknum anak
bangsa membenarkan aksi agresif sektarian, militansi ekstrem, kebrutalan,
separatisme dan tindakan-tindakan kekerasan lain yang bisa mengancam kesatuan
nasional. Apalagi, aksi destruktif tersebut banyak bersembunyi dibalik dalil
agama.
Hingga saat ini, kekerasan bermotifkan
agama masih menjadi fenomena dalam beberapa kejadian sebagaimana yang dapat
ditangkap dalam media cetak dan elektronik. Misalnya beberapa kasus yang
mengemuka dalam waktu 10 tahun ini: penyerangan penganut Ahmadiyah di
Pandeglang (2011); penyerangan gereja di Temanggung (Februari 2011);
pemboman gereja di Kepunten Solo (September 2011). Pada titik inilah, oleh
banyak kalangan, Indonesia dalam banyak berita dan publikasi disamakan dengan
bermacam bentuk kekerasan, serta
tidak ramah soal kebebasan beragama.
Secara umum, konflik-konflik ini,
bersinggungan langsung dengan masyarakat, terutama konflik-konflik yang
dikategorikan konflik besar, namun secara khusus, pelajar atau pemudalah, yang
menjadi dalang, dari konflik-konflik ini, terutama dalam hal ini yang muda-lah
yang sering terpancing emosi dan sering melakukan tindakan-tindakan yang
agresif, sekalipun hanya dikarenakan hal kecil. Hal kecil inilah, yang kelak
menjadi besar atau sekedar dibesar-besarkan sehingga, menyulut emosi dari
seluruh elemen masyarakat, dan membuat masyarakat secara luas terlibat dalam
konflik-konflik ini.
Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa,
Agama dan Status Pelajar/Pemuda menjadi problematika yang harus segera
diselesaikan secepatnya, dengan penyelesaian yang tepat sasaran. Penyelesaian
yang tepat disini ialah dengan membangun hubungan baik antara umat beragama
utamanya pelajar atau pemuda.
Bertolak belakang dengan hal tersebut,
salah satu kota di Indonesia yaitu Manado, tampil beda dengan membangun citra
toleran dalam kehidupan antar umat beragama masyarakatnya. Kota ini menjadi
tujuan exodus dari daerah bertikai di wilayah Indonesia Timur, seperti Ambon,
Ternate dan Poso. Ketika menjadi rumah baru bagi orang dari daerah bertikai,
Manado hingga kini mampu menjaga citra tersebut. Tidak sampai hanya pada
reportase semata, dalam beberapa tulisan ilmiah-pun, Manado disamakan dengan’The City of Brotherly Love”.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa, konflik tetap ada walaupun sangat
sedikit. adapun beberapa konflik yang terjadi hanya mengatasnamakan
kelompok-kelompok masyarakat, misalnya tauran antar kampung yang terjadi
diwilayah manado utara, tidak mengatasnamakan agama. Namun, Keamanan dan
Kedamaian saat ini harus terus dibangun dan dipertahankan, agar dapat berlanjut
ke generasi-generasi selanjutnya.
Untuk membangun dan mempertahankan
itu, harus dimulai dari pelajar dan pemuda, yang notabenenya, mudah terpancing
emosi, dan berpotensi melakukan tindak kekerasan, selain itu, pelajar dan
pemudalah yang akan berperan menjaga keamanan dan kedamaian kota manado dimasa
depan.
Pelajar Islam Indonesia (PII), sebagai
Organisasi yang menampung dan mewadahi pelajar, dalam mengembangkan potensi
diri, dan Membentuk karakter Islami, seharusnya juga terlibat aktif dalam
membangun hubungan pelajar Islam dan non-islam di Kota Manado. Hal ini, juga
sesuai dengan salah satu tujuan Pelajar Islam Indonesia, yaitu konsepsi
kebudayaan yang sesuai dengan ajaran islam, dimana keberagaman juga merupakan
bagian dari kebudayaan, yang sesuai dengan ajaran islam.
Karen Kray dalam tesisnya, melihat
bagaimana peran pemerintah dan organisasi kepemudaan menjaga kedamaian di
Sulawesi Utara, organisasi mampu membangun kekuatan kolektif untuk menjaga
kedamaian dan meningkatkan kewaspadaan akan timbulnya konflik. Hal ini, yang
kemudian menjadi penguat, bagi Pelajar Islam Indonesia, untuk ikut berkontribusi
dalam membangun hubungan umat beragama, terkhususkan dalam lingkup pelajar dan
pemuda, Sehingga dapat menumbuhkan sikap tenggang rasa dan toleransi, serta
mencapai persatuan dan kesatuan, yang terus-menerus.
Dalam membangun hubungan antara pelajar
islam dan pelajar non-islam, pelajar islam indonesia, memiliki strategi yang
merupakan langkah-langkah untuk mencapai dan mewujudkan hal tersebut, yang juga
merupakan program dari pengurus daerah Pelajar Islam Indonesia Kota Manado.
Strategi tersebut, yaitu :
1. Membentuk kader Pelajar Islam Indonesia, Kota Manado, yang
memiliki jiwa toleransi yang tinggi.
Sebelum melakukan atau mengusahakan
perubahan di luar, Pelajar Islam Indonesia, harus terlebih dahulu, membina
kadernya, untuk memiliki jiwa kolektif, dan toleransi yang tinggi. Sehingga
dari dan oleh kader-kader inilah, perubahan-perubahan di luar akan di wujudkan.
Inilah langka awal yang harus di laksanakan oleh PII.
2. Membangun hubungan, dengan organisasi keagamaan, lainnya.
Setelah, membentuk kader, dengan jiwa
kolektif dan toleransi yang tinggi maka, yang selanjutnya dilakukan adalah,
membangun dan membina hubungan luar organisasi, dalam hal ini, yaitu dengan,
organisasi-organisasi keagamaan lain, seperti, Himpunan Mahasiswa Islam, Brigade Manguni, Legium Christum,
Paguyuban Kekeluargaan Tionghoa dan organisasi-organisasi keagamaan lainya. Hal
ini dimaksudkan agar, Pelajar Islam Indonesia, dapat bekerja sama dengan
organisasi keagamaan lainnya, untuk sama-sama berjuang dalam membangun dan
mempertahankan, hubungan antar umat beragama di Kota Manado. Dengan hal ini
Pelajar Islam Indonesia dapat mewujudkan programnya,dengan lebih mudah dan
terstruktur.
3. Membentuk Organisasi Pelajar Lintas Agama.
Langkah selanjutnya, setelah hubungan eksternal
dengan organisasi keagamaan lain telah dibangun, adalah dengan mengadakan atau
membentuk sebuah wadah, yang dapat menampung para pelajar yang ingin
berkontribusi dalam membangun hubungan baik antar pelajar beragama. Hal ini
harus dilakukan dengan melibatkan organisasi keagamaan lain, yang sudah
memiliki hubungan baik dengan PII,dan juga tetap menerima keterlibatan dari
organisasi keagamaan lain, yang belum sempat memiliki hubungan langsung. Yang
selanjutnya dari wadah inilah, langkah-langkah membangun hubungan pelajar
beragama dapat diformulasikan bersama dan dibangun secara bersama pula.
4. Menanamkan kembali nilai-nilai budaya kepada setiap pelajar melalui
Pelajar Lintas Agama
Setelah wadah yang menampung pelajar beragama, yang memiliki
tujuan yang sama, sudah dibentuk, maka pergerakan selanjutnya akan diadakan
dari wadah organisasi tersebut. Pergerakan yang harus dilakukan, haruslah merupakan
formula yang di sepakati bersama oleh setiap anggota dari Pelajar Lintas Agama
itu sendiri. Dari sini, Pelajar Islam Indonesia akan mengusulkan, adanya
kegiatan dengan tujuan menanamkan kembali nilai-nilai budaya kepada
pelajar-pelajar beragama di Kota Manado. Nilai budaya yang dimaksud, yaitu :
A.
Falsafah Hidup (Sitou Timou Tumou Tou)
Artinya, manusia hidup memanusiakan manusia lain. Anggapan
umum menilai, falsafah ini ditelorkan oleh Dr. Sam Ratulangi, yang tepat
sebenarnya, beliau menyimpulkannya dari realitas kehidupan bangsa Minahasa yang
toleran, saling membangun, akrab dengan sesama serta saling menghargai segala
bentuk perbedaan yang melewati sekat-sekat perbedaan kronis. Saat ini Falsafah
hidup ini, tidak lagi hanya dimiliki orang Minahasa, melainkan seluruh
masyarakat Kota Manado pendatang, maupun penetap selain orang Minahasa.
B.
Torang Samua Basudara (Kita Semua Bersaudara)
Pada awalnya kalimat ini adalah sebuah
slogan yang kemudian bertranformasi menjadi nilai budaya pada saat ini. Kalimat
ini ditelorkan oleh mantan Gubernur Sulawesi Utara Letjen (Purn) E.E. Mangindaan
untuk jadi senjata perekat dalam menghindari konflik SARA (Suku, Agama, Ras,
Antar Golongan) yang meluas di Indonesia bagian Timur (1998-1999), agar rasa
persatuan dan kesatuan masyarakat tetap merekat.
C.
Mapalus (Kerja Sama/Gotong Royong)
Mapalus merupakan, salah satu dari nilai
budaya Minahasa yang saat ini, menjadi nilai budaya dari seluruh masyarakat
Kota Manado. Mapalus mengandung arti kerja sama atau gotong royong, dari
seluruh elemen masyarakat.
D.
Nilai Budaya Demokrasi
Budaya demokrasi, sebenarnya sudah
diamalkan oleh masyarakat minahasa, jauh sebelum kemerdekaan, hal itu dapat
dilihat dari, pemerintahan lokal Minahasa yang memiliki satu pemimpin utama,
dan juga ada pemimpin-pemimpin kelompok (Kepala Walak) yang bertugas sebagai
penyampai aspirasi rakyatnya. contoh lain adalah, masyarakat Minahasa saat itu
sudah memiliki Dewan Rakyat Minahasa (Minahasaan raad), yang merupakan dewan
rakyat pertama di indonesia.
E.
Nilai Budaya Silaturahmi
Budaya ini menjadi salah satu perekat
kerukunan hidup dalam perbedaan. Tiap orang merasa dihormati dan diakui
keberadaanya sebagai manusia. Selain itu, kebiasaan yang menjadi budaya ini,
mematahkan eksklusifitas religius. Tidak hanya berlaku untuk hari besar
keagamaan, kebiasaan saling mengunjungi Nampak juga dalam kegiatan adat seperti
Imlek, Goan Siau, Tulude, hari raya Ba’do Ketupat, Pengucapan Syukur dan
lain–lain. Gambaran betapa pentingnya komunikasi harus dijalankan dalam
kerjasama dan silaturahmi, menunjukkan betapa indahnya hidup rukun dalam
kedamaian yang didasari toleransi.
Itulah keseluruhan dari Strategi atau
langkah-langkah yang seharusnya dan akan dilaksanakan oleh Pengurus Daerah
Pelajar Islam Indonesia Kota Manado, dalam membangun hubungan baik antara
pelajar islam dan non-islam di Kota Manado, yang juga sebagai upaya peningkatan
kolektifitas pelajar dan juga Toleransi antar umat beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar